Saat
ini, Indonesia dikenal publik internasional sebagai lahan subur radikalisme
agama. Pemahaman kelompok ini cenderung totalistik dan formalistik; kaku dalam
memahami teks-teks agama. Bagi kelompok ini, konteks sosial, politik, ekonomi
dan budaya yang melingkupi umat Islam, bukan merupakan pertimbangan penting.
Tak ayal, pemahaman ini tidak memberi ruang terhadap tradisi lokal.
Dalam gerakannya, mereka konfrontatif terhadap sistem sosial yang ada, termasuk dasara negara. Fenomena ini tentu jadi ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Nahdlatul Ulama, sebagai salah satu elemen bangsa yang turut andil dalam mendirikan Republik ini, sangat prihatin akan gerakan kelompok radikal yang makin menguat. Atas dasar itulah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung gerakan nasional deradikalisme agama.
”Nahdlatul Ulama sangat mendukung gerakan nasional untuk membendung radikalisme,"ungkap Imdadun Rahmat, Wakasekjen PBNU saat membuka Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan lil-Alamin pada Sabtu, (15/10). Workshop ini diselenggarkan di hotel D. Wangsa, Jakarta Pusat, atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Imdad menambahkan bahwa dukungan NU untuk membendung radikaliisme bertumpu pada dua hal. Pertama, teologis. Nahdlatul Ulama berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang antikekerasan, tasamuh, tawazun dan i’tidal.
Kedua, landasan sosiologis. Karena NU sejak awal adalah organisasi yang memiliki akar kebangsaan yang kuat. Menjadi warga Indonesia yang baik dapat dilakukan bersama dengan menjadi muslim yang baik.
Sementara itu, Masda Chairul Akbar dari BNPT menjelaskan bahwa deradikalisasi pemahaman agama yang diselengarakan dengan PBNU sangat strategis. Karena menurutnya, gerakan Islam radikal merupakan embrio terjadinya gerakan teroris di Tanah Air yang meresahkan masyarakat.
“Teroriseme ini sudah demikian mengganggu ketertiban masyarakat, mengganggu pembangunan nasional. Yang tadinya orang ingin berinvestasi di Indonesia ini tetapi tidak masuk karena terorisme. Ini sudah menjadi ancaman negara dan global,” tambahnya.
Acara yang akan berlangsung hingga Senin, (17/10) melibatkan 50 orang peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan da’i.
Dalam gerakannya, mereka konfrontatif terhadap sistem sosial yang ada, termasuk dasara negara. Fenomena ini tentu jadi ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Nahdlatul Ulama, sebagai salah satu elemen bangsa yang turut andil dalam mendirikan Republik ini, sangat prihatin akan gerakan kelompok radikal yang makin menguat. Atas dasar itulah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung gerakan nasional deradikalisme agama.
”Nahdlatul Ulama sangat mendukung gerakan nasional untuk membendung radikalisme,"ungkap Imdadun Rahmat, Wakasekjen PBNU saat membuka Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan lil-Alamin pada Sabtu, (15/10). Workshop ini diselenggarkan di hotel D. Wangsa, Jakarta Pusat, atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Imdad menambahkan bahwa dukungan NU untuk membendung radikaliisme bertumpu pada dua hal. Pertama, teologis. Nahdlatul Ulama berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang antikekerasan, tasamuh, tawazun dan i’tidal.
Kedua, landasan sosiologis. Karena NU sejak awal adalah organisasi yang memiliki akar kebangsaan yang kuat. Menjadi warga Indonesia yang baik dapat dilakukan bersama dengan menjadi muslim yang baik.
Sementara itu, Masda Chairul Akbar dari BNPT menjelaskan bahwa deradikalisasi pemahaman agama yang diselengarakan dengan PBNU sangat strategis. Karena menurutnya, gerakan Islam radikal merupakan embrio terjadinya gerakan teroris di Tanah Air yang meresahkan masyarakat.
“Teroriseme ini sudah demikian mengganggu ketertiban masyarakat, mengganggu pembangunan nasional. Yang tadinya orang ingin berinvestasi di Indonesia ini tetapi tidak masuk karena terorisme. Ini sudah menjadi ancaman negara dan global,” tambahnya.
Acara yang akan berlangsung hingga Senin, (17/10) melibatkan 50 orang peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan da’i.
Sumber, NU
Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar