Oleh: Dina Y. Sulaeman
Dalam acara launching dan bedah buku Prahara Suriah di Univ
Paramadina, dua akhwat berjilbab lebar hadir dan duduk paling depan.
Kelihatannya mereka tekun menyimak pemaparan para pembicara, termasuk saya.
Namun saya sungguh kaget saat salah satu dari akhwat itu berbicara di sesi
tanya jawab. Dia menujukan pernyataan (bukan pertanyaan) kepada Wakil Dubes
Suriah, kurang lebih, “Sebenarnya saya tidak perlu semua pembicaraan ini
[sambil menujuk ke arah para pembicara]. Saya hanya ingin menyampaikan pesan
kepada saudara-saudara Sunni saya di Suriah, tolong sampaikan kepada mereka
permintaan maaf saya karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu
mengurangi penderitaan mereka.”
Sungguh tak saya sangka rupanya si akhwat itu tadi selama
hampir tiga jam duduk di depan saya sambil menulikan pendengaran dan menutup
pengelihatannya. Meskipun tak bicara blak-blakan, tapi nadanya mengandung
emosi, jelas sekali si akhwat tetap berpegang pada paradigma yang dibawanya
sejak awal, yaitu bahwa ini adalah konflik Sunni-Syiah dan kaum Sunni menjadi
korban kezaliman rezim Syiah Assad (sebagaimana yang didengungkan berbagai
ormas Islam pendukung jihad ke Suriah selama ini).
Wakil Dubes Suriah dengan nada yang lembut, sopan, serta
dengan kalimat sederhana, logis, dan mudah dipahami (kecuali mungkin bagi
orang-orang yang tetap membutakan mata dan menulikan telinga), menjelaskan
situasi yang sebenarnya di Suriah; bahwa rakyat Sunni-Syiah di Suriah selama
ini hidup rukun sebelum datangnya para pemberontak dari luar negeri yang
mengatasnamakan diri pejuang Sunni yang berjihad melawan Syiah. Bahwa yang
paling menangisi kondisi ini adalah semua rakyat Suriah, baik Sunni,Syiah,
Kristen dan Druze; dan bahwa mereka semua korban dari intervensi asing.
Dalam penulisan buku Prahara Suriah, karena saya adalah
penstudi Hubungan Internasional dan bukan ahli agama, saya menggunakan kaidah
dasar penelitian ilmiah, yang disebut triangulasi data. Sebuah kesimpulan dianggap
valid jika informasi didapat dari dua pihak (pro-kontra), dibandingkan dengan
studi literatur tentang objek penelitian, serta melakukan observasi (bisa
aktif, bisa pasif).
Sementara, si akhwat itu jelas menolak mentah-mentah langkah
ilmiah ini dan memilih berkaca mata kuda, menerima begitu saja informasi dari
ustadz/ustadzahnya.
Kalau analisis sudah dicampur dengan keyakinan agama fanatik
seperti si akhwat ini, saya tentu saja angkat tangan. Tapi berikut ini ada
informasi bagus mengenai cara menganalisis data berdasarkan petunjuk Al
Quran/hadis dari blog Media Islam Raya.
—-
Saat ini banyak fitnah dan berita bohong berseliweran. Tak
jarang berita yang saya kira benar dan juga sebarkan, ternyata belakangan saya
ketahui palsu. Padahal Dusta itu ciri munafik. Dan jika kita menyebar dusta
juga, khawatirnya kita ikut berdosa. Oleh sebab itu ada baiknya kita mengkaji
ajaran Islam bagaimana kita bisa mendapat berita yang benar sehingga tidak
sampai menzalimi satu kaum.
1. Tabayyun ke Pihak yang Dituduh/Difitnah
“Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. ” [Al Hujuraat 6]
2. Cover Both Sides of a Story
Tanyakan informasi dari kedua-belah pihak. Seandainya ada
pihak A bilang si B kafir, kita jangan percaya begitu saja. Tabayyun ke B apa
dia benar kafir. Dengan menerima informasi dari 2 pihak yang bertikai, baru
kita bisa menimbang dengan adil siapa yang benar.
Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah
kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua
sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)
Jangan cuma menerima informasi dari 1 sisi saja misalnya dari
kelompok kita saja, sementara dari kelompok lain kita anggap tidak benar,
munafik musuh Islam, dsb. Ini sudah bertentangan dengan hadits Nabi di atas dan
sudah ‘Ashobiyyah / Fanatisme Golongan.
Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada
‘ashabiyah (HR Abu Dawud).
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka.” [Ar Ruum:32]
Kalau sudah Ashobiyyah seperti itu, mereka menganggap
pemimpinnya seperti Tuhan yang tidak pernah salah. Bahkan mematuhi perintah
pemimpinnya meski bertentangan dengan perintah Allah dan RasulNya. Tak jarang
para Ulama seperti Ulama Al Azhar pun mereka anggap kafir / musuh Islam.
3. Bersikap Adil
Tak jarang karena kita benci pada satu kaum, akhirnya kita
mencap kaum tsb pasti pendusta, pasti jahat, dsb. Padahal kita tetap harus adil
meski kita benci mereka. Ingat, di setiap kelompok biasanya ada yang jahat dan
ada pula yang baik.
Harusnya kita tetap adil meski thd kaum yg kita benci:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [Al Maa-idah:8]
Kita tidak boleh emosi:
Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang
dalam keadaan marah. (HR. Muslim)
4. Dapatkan Berita dari Sebanyak Mungkin Sumber
Boleh dibilang tak ada Media yang netral 100%. Umumnya mereka
membawa kepentingan kelompok mereka. Oleh karena itu kita harus mendapat berita
dari berbagai sumber. Harus dari berbagai pihak. Sebab meski ada 10 media, tapi
kalau masih dari 1 kelompok, sama juga bohong.
Jika ada Media yang sering melontarkan Fitnah/Dusta, lebih
baik diblack-list saja. Cari alternatif lain yang lebih dipercaya.
Semakin banyak sumber, satu Hadits makin dipercaya karena
dianggap Mutawattir. Apalagi kalau isinya sahih. Berita pun demikian. Berita
Mutawattir lebih kuat daripada Berita Ahad.
Iqro! Bacalah Jangan menutup mata kita dari Media hanya
karena pimpinan kita mencuci-otak kita… Itulah cara mendapat berita yang benar.
Jika 1 berita hanya memuat informasi dari 1 pihak saja,
sementara pihak yang dituduh melakukan kejahatan sama sekali tidak
diwawancarai, apalagi ternyata beritanya meski ada di beberapa Media (apalagi
Media Online Abal2) cuma di jaringan kelompok/aliran yang sama dan tidak
ditemukan di Media Massa Nasional dan Internasional, meski Media tsb memakai
label “Islam”, kemungkinan besar isinya cuma fitnah. Apalagi jika menyangkut politik
yang berkaitan dengan kepentingan kelompoknya. Jadi harus hati-hati.
–akhir kutipan
Semoga bermanfaat. Kecerdasan menyaring informasi soal Suriah
tidak hanya berkaitan dengan urusan ‘mereka’ (rakyat Suriah yang hidup delapan
ribu kilometer dari kita), tapi juga urusan kita rakyat Indonesia yang sangat
rentan dipecahbelah oleh para penguasa yang bekerja sama dengan kekuatan asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar