Minggu, 18 Agustus 2013

Cara Menganalisis Konflik


Dalam acara launching dan bedah buku Prahara Suriah di Univ Paramadina, dua akhwat berjilbab lebar hadir dan duduk paling depan. Kelihatannya mereka tekun menyimak pemaparan para pembicara, termasuk saya. Namun saya sungguh kaget saat salah satu dari akhwat itu berbicara di sesi tanya jawab. Dia menujukan pernyataan (bukan pertanyaan) kepada Wakil Dubes Suriah, kurang lebih, “Sebenarnya saya tidak perlu semua pembicaraan ini [sambil menujuk ke arah para pembicara]. Saya hanya ingin menyampaikan pesan kepada saudara-saudara Sunni saya di Suriah, tolong sampaikan kepada mereka permintaan maaf saya karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mengurangi penderitaan mereka.”

Sungguh tak saya sangka rupanya si akhwat itu tadi selama hampir tiga jam duduk di depan saya sambil menulikan pendengaran dan menutup pengelihatannya. Meskipun tak bicara blak-blakan, tapi nadanya mengandung emosi, jelas sekali si akhwat tetap berpegang pada paradigma yang dibawanya sejak awal, yaitu bahwa ini adalah konflik Sunni-Syiah dan kaum Sunni menjadi korban kezaliman rezim Syiah Assad (sebagaimana yang didengungkan berbagai ormas Islam pendukung jihad ke Suriah selama ini).


Wakil Dubes Suriah dengan nada yang lembut, sopan, serta dengan kalimat sederhana, logis, dan mudah dipahami (kecuali mungkin bagi orang-orang yang tetap membutakan mata dan menulikan telinga), menjelaskan situasi yang sebenarnya di Suriah; bahwa rakyat Sunni-Syiah di Suriah selama ini hidup rukun sebelum datangnya para pemberontak dari luar negeri yang mengatasnamakan diri pejuang Sunni yang berjihad melawan Syiah. Bahwa yang paling menangisi kondisi ini adalah semua rakyat Suriah, baik Sunni,Syiah, Kristen dan Druze; dan bahwa mereka semua korban dari intervensi asing.

Dalam penulisan buku Prahara Suriah, karena saya adalah penstudi Hubungan Internasional dan bukan ahli agama, saya menggunakan kaidah dasar penelitian ilmiah, yang disebut triangulasi data. Sebuah kesimpulan dianggap valid jika informasi didapat dari dua pihak (pro-kontra), dibandingkan dengan studi literatur tentang objek penelitian, serta melakukan observasi (bisa aktif, bisa pasif).

Sementara, si akhwat itu jelas menolak mentah-mentah langkah ilmiah ini dan memilih berkaca mata kuda, menerima begitu saja informasi dari ustadz/ustadzahnya.

Kalau analisis sudah dicampur dengan keyakinan agama fanatik seperti si akhwat ini, saya tentu saja angkat tangan. Tapi berikut ini ada informasi bagus mengenai cara menganalisis data berdasarkan petunjuk Al Quran/hadis dari blog Media Islam Raya.

—-
Saat ini banyak fitnah dan berita bohong berseliweran. Tak jarang berita yang saya kira benar dan juga sebarkan, ternyata belakangan saya ketahui palsu. Padahal Dusta itu ciri munafik. Dan jika kita menyebar dusta juga, khawatirnya kita ikut berdosa. Oleh sebab itu ada baiknya kita mengkaji ajaran Islam bagaimana kita bisa mendapat berita yang benar sehingga tidak sampai menzalimi satu kaum.

1. Tabayyun ke Pihak yang Dituduh/Difitnah

    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ” [Al Hujuraat 6]

2. Cover Both Sides of a Story

Tanyakan informasi dari kedua-belah pihak. Seandainya ada pihak A bilang si B kafir, kita jangan percaya begitu saja. Tabayyun ke B apa dia benar kafir. Dengan menerima informasi dari 2 pihak yang bertikai, baru kita bisa menimbang dengan adil siapa yang benar.

Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)

Jangan cuma menerima informasi dari 1 sisi saja misalnya dari kelompok kita saja, sementara dari kelompok lain kita anggap tidak benar, munafik musuh Islam, dsb. Ini sudah bertentangan dengan hadits Nabi di atas dan sudah ‘Ashobiyyah / Fanatisme Golongan.

Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud).

“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar Ruum:32]

Kalau sudah Ashobiyyah seperti itu, mereka menganggap pemimpinnya seperti Tuhan yang tidak pernah salah. Bahkan mematuhi perintah pemimpinnya meski bertentangan dengan perintah Allah dan RasulNya. Tak jarang para Ulama seperti Ulama Al Azhar pun mereka anggap kafir / musuh Islam.

3. Bersikap Adil

Tak jarang karena kita benci pada satu kaum, akhirnya kita mencap kaum tsb pasti pendusta, pasti jahat, dsb. Padahal kita tetap harus adil meski kita benci mereka. Ingat, di setiap kelompok biasanya ada yang jahat dan ada pula yang baik.

Harusnya kita tetap adil meski thd kaum yg kita benci:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al Maa-idah:8]

Kita tidak boleh emosi:
Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. (HR. Muslim)

4. Dapatkan Berita dari Sebanyak Mungkin Sumber

Boleh dibilang tak ada Media yang netral 100%. Umumnya mereka membawa kepentingan kelompok mereka. Oleh karena itu kita harus mendapat berita dari berbagai sumber. Harus dari berbagai pihak. Sebab meski ada 10 media, tapi kalau masih dari 1 kelompok, sama juga bohong.
Jika ada Media yang sering melontarkan Fitnah/Dusta, lebih baik diblack-list saja. Cari alternatif lain yang lebih dipercaya.
Semakin banyak sumber, satu Hadits makin dipercaya karena dianggap Mutawattir. Apalagi kalau isinya sahih. Berita pun demikian. Berita Mutawattir lebih kuat daripada Berita Ahad.
Iqro! Bacalah Jangan menutup mata kita dari Media hanya karena pimpinan kita mencuci-otak kita… Itulah cara mendapat berita yang benar.
Jika 1 berita hanya memuat informasi dari 1 pihak saja, sementara pihak yang dituduh melakukan kejahatan sama sekali tidak diwawancarai, apalagi ternyata beritanya meski ada di beberapa Media (apalagi Media Online Abal2) cuma di jaringan kelompok/aliran yang sama dan tidak ditemukan di Media Massa Nasional dan Internasional, meski Media tsb memakai label “Islam”, kemungkinan besar isinya cuma fitnah. Apalagi jika menyangkut politik yang berkaitan dengan kepentingan kelompoknya. Jadi harus hati-hati.

–akhir kutipan


Semoga bermanfaat. Kecerdasan menyaring informasi soal Suriah tidak hanya berkaitan dengan urusan ‘mereka’ (rakyat Suriah yang hidup delapan ribu kilometer dari kita), tapi juga urusan kita rakyat Indonesia yang sangat rentan dipecahbelah oleh para penguasa yang bekerja sama dengan kekuatan asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar