Jakarta (ANTARA News) - Dukungannya yang tak pernah goyah untuk negara Yahudi membuat dia dijuluki "Presiden Yahudi Pertama", dan tindakan Presiden AS Barack Obama dalam satu pekan belakangan menyulut caci-maki.
Dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB pada 21 September, Obama mengatakan ia frustrasi dengan sejumlah penundaan dalam proses perdamaian, tetapi tetap percaya bahwa sengketa tersebut harus diselesaikan lewat perundingan antara warga Israel dengan Palestina, dan bukan di PBB.
Presiden Amerika itu berbicara panjang lebar mengenai kemerdekaan dan kebebasan di Sudan Selatan, Pantai Gading, Tunisia, Mesir dan Libya --melalui Arab Spring. Tapi tak satu patah pun dilontarkannya mengenai hak kebebasan atau penderitaan orang Palestina.
Avnery juga menyebut pidato Obama tersebut sebagai "karya seni". "Tapi hampir setiap bagian pernyataan tersebut di dalam pidato itu adalah dusta. Pembicaranya tahu itu dusta. Begitu juga dengan pendengarnya," kata Avnery di dalam tulisan di Information Clearing House pada 26 September.
Pidato tersebut dipandang sebagai "tindakan terbaik dan terburuk Obama".
Dari segi isi, Obama dianggap menjual kepentingan nasional yang mendasar Amerika Serikat untuk meraih kesempatan kedua dalam pemilihan presiden mendatang di negeri Paman Sam itu.
Pidato Obama dinilai "tak terlalu baik, tapi secara politik bagus".
Obama memperlakukan kedua pihak dalam konflik Palestina-Israel sebagai "kekuatan yang seimbang".
Tapi Presiden Amerika Serikat tersebut dianggap cuma memandang "Israel lah yang menderita, dari dulu hingga sekarang". Seorang anak Israel "terancam roket. Anak itu dikeliling oleh anak-anak Arab yang dipenuhi kebencian".
Gayung pun bersambut! Semua tindakan Obama telah memberinya julukan "Presiden Yahudi Pertama" di Amerika Serikat.
John Heilemann di New York Magazine terbitan September, mengomentari aksi Obama, yang sangat membela kepentingan Israel di Sidang Majelis Umum PBB. Saat Palestina mengingini pengakuan kedaulatan, Obama menjegal langkah Palestina dan meminta Presiden Palestina Mahmoud Abbas kembali ke meja perundingan, yang tentu saja dikuasai AS dan Israel.
"Obama adalah sahabat terbaik Israel saat ini," kata Heillemann, sebagaimana dikutip. Malah sejak hari pertama di kantornya Obama "sudah segalanya pro-Israel. Bisa jadi dia lah Perdana Menteri Israel yang sesungguhnya", kata Heillemann dengan nada sindiran.
Namun, Obama mengemas citranya dengan sangat baik. Dia adalah presiden kulit hitam pertama. Nama tengahnya adalah Hussein, nama Islam. Dia mempunyai banyak teman dari intelektual Islam, termasuk sejarawan terkemuka Rashid Khalidi.
Tapi yang kerap dilupakan orang adalah kedekatan Obama dengan masyarakat Yahudi Chicago. Itu membuat Obama sangat mengerti dan terbiasa dengan masyarakat Yahudi dan pandangan mereka.
"Dia punya pendukung dari kalangan Yahudi, punya dukungan pemikir Yahudi, di Illinois," kata Wakil Kepala Keamanan Nasional Ben Rhodes.
Obama duduk di kursi Presiden AS dengan pemahaman yang sangat dalam mengenai budaya dan pemikiran Yahudi.
Majalah New York juga menyatakan bahwa persepsi masyarakat Yahudi tentang Presiden Obama selama ini keliru.
"Barack Obama adalah hal terbaik yang Israel miliki sekarang ini. Mengapa demikian sulit bagi Netanyahu dan sekutu Yahudi Amerika-nya untuk memahami hal ini?" tulis majalah itu.
Majalah tersebut juga merinci kekecewaan dan kemarahan Washington atas perilaku pribadi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap Obama, serta visi Timur Tengah Sang Presiden.
Kekecewaan, tulis majalah itu, ditunjukkan Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, mantan menteri pertahanan Robert Gates, dan mantan Utusan Timur Tengah George Mitchell.
Mereka semua sangat marah terhadap Netanyahu, yang prilakunya selama dua tahun terakhir telah menguji kesabaran mereka.
Bahu-membahu
Sidang Majelis Umum PBB, di New York, telah menyaksikan bagaimana Obama dan Netanyahu bahu-membahu dalam berjuang mencegah Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengajukan permohonan keanggotaan penuh di PBB bagi negara Palestina.
Tapi persoalannya bukan cuma dukungan dari Obama; ada lobi Yahudi di balik semua itu. Lawrence Davidson, profesor sejarah di West Chester University di West Chester, Pennsylvania, menulis ia pernah berdebat dengan kuasa usaha AS di Israel. Sang Kuasa Usaha mengatakan jika ia percaya Kongres AS dapat terbebas dari pengaruh lobi Zionis, "berarti Davidson sudah gila". Itu takkan pernah terjadi.
Masalah antara Israel dan Palestina telah bertambah sengit selama perdebatan Sidang Majelis Umum Ke-66 PBB, 21-27 September.
Dalam pidatonya Obama tak menyentuh masalah penduduk, permukiman perbatasan 1967 dan anak-anak Palestina yang ketakutan atau menemui ajal di tangan orang Yahudi.
Obama memang berbicara tentang negara Palestina, tapi itu harus "diwujudkan lewat perundingan bukan PBB", padahal perundingan perdamaian langsung Palestina-Israel sudah macet total sejak penghujung 2010.
Manfaatkan "Arab Spring"
Aksi perlawanan yang dijuluki "Arab Spring" di beberapa negara Arab di Afrika dan Timur Tengah telah memberi Obama peluang untuk memulihkan posisinya di Timur Tengah. Sebelumnya AS tak berkutik membujuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengakhiri pembangunan permukiman Yahudi --yang menjadi pangkal kemacetan perundingan perdamaian Palestina-Israel.
Obama dilaporkan media transnasional menghubungi presiden Mesir Hosni Mubarak agar meletakkan jabatan, membantu rakyat Libya "membebaskan diri" dari Muamar Gaddafi, dan membuat keributan mengenai Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Obama dinilai tahu bahwa ia harus meraih lagi penghormatan bangsa Arab jika ia ingin memulihkan citranya di wilayah tersebut, dan bahkan dunia pada umumnya.
Namun tindakannya di Markas PBB di New York malah menghancurkan upaya yang baru dirintisnya lagi.
Tak seorang pun di dunia Arab bisa memaafkan dia karena menikam punggung rakyat Palestina, yang tak berdaya. Semua prestasi yang telah AS upayakan selama beberapa bulan belakangan di dunia Arab dan dunia Muslim berantakan hanya dalam sekejap.
Tingkat penentangan oleh Amerika Serikat dan sebagian negara Barat terhadap upaya Palestina untuk diakui sebagai negara di PBB sangat kuat, dan Obama tak malu-malu dalam memperlihatkan "Israelisasi" dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina dan rakyat Palestina.
Apa yang disampaikan Obama dalam Sidang Majelis Umum saat ini sungguh bertolak-belakang dengan pidatonya pada 2010. Saati itu ia berkata, "Kita mesti mencapai apa yang terbaik di dalam diri kita. Jika kita berhasil, ketika kita kembali ke sini tahun depan, kita dapat memiliki kesepakatan yang akan menghasilkan satu anggota baru PBB", yaitu negara Palestina.
Tapi ketika waktunya tiba, ia malah mengancam akan menggunakan hak veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan guna mencegah terwujudnya keanggotaan Palestina di PBB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar