Tidak ku sangka malam itu selepas maghrib tanggal 15-2-2014
terdengar kabar bahwa ulama’ tawadu’, sang wira’I KH. Zainal Abidin Munawwir
asal Krapyak Yogyakarta menghembuskan nafas terahir menghadap Sang Kuasa.
Sentak saya bengong, karena masih terngiang setelah lama tidak berjumpa,
tentang sosok beliau yang terlihat dingin wajahnya, sudah sepuh (tua) tapi
masih terlihat segar dan kuat, bahkan sehabis menunaikan sholat maghrib beliau
selalu berdiri di pintu masjid, karena santri selalu menghadang beliau untuk
bersalaman, dan beliaupun tanpa bosan meladeni.
Sehari kemudian, para alumni santri Krapyak di Mesir
mengadakan sholat Ghoib beserta Tahlil. Di daerah Qutomiya Cairo Mesir rumah
senior Krapyak, Bp. Muhammad Saifuddin, Ma. untuk mendoakan beliau dan
menyatakan bahwa KH. Zainal memang sosok yang baik, solih, alim. Acara dihadiri
alumni senior Krapyak di Mesir, Bapak Hunaifi, Bapak Ikhwani, dan Bapak
Muhammad Saifudin sendiri. Acara ditutup dengan membacakan Manaqib KH. Zainal
Abidin Munawwir yang disampaikan ketiga alumni senior tersebut.
Pada kesimpulannya, Mengutip dari KH. Ali Maksum selaku guru
dan mas ipar dari KH. Zainal Abidin Munawwir “Zainal iku cagake langit,” begitu
tutur sang guru kepada muridnya. Yang berarti KH. Zainal adalah tiang dari
langit, selama beliau masih menghembuskan nafas langit ini belum akan runtuh.
Kenapa guru sendiri mengakui terhadap muridnya sedemikian, karena tidak asing
lagi bagi para santri Krapyak terhadap sosok KH. Zainal Abidin Munawwir tentang
keZuhudaan, Wira’I, dan sosok yang Ikhlas.
Sebagai contoh, dikisahkan ketika beliau bepergian dengan
muridnya ke suatu tempat, dan mendapati sebuah patung, seketika itu langsung
menunduk. Dan menyuruh santrinya untuk tidak melihat patung tersebut. Selain
itu, beliau sangat hati-hati ketika mau menerima sumbangan uang. Bahkan ketika
beliau masih menjabat menjadi anggota DPR, beliau tidak mengambil gaji, dan
lebih memilih “ngotel” atau bersepeda ke kantor dari pada menggunakan mobil
dinas. Hal ini sangat kontradiksi dengan sebagian pemimpin negeri saat ini,
yang cenderung glamor dan tidak puas akan harta dunia.
Tentu untuk mencapai tingkat Zuhud, Wira’I, ‘Alim, dan Ikhlas
tidak akan diperoleh dengan cara instan. Tapi melalui Tajribah atau pengalaman
yang banyak dan butuh waktu lama. Tidak seperti Ustadz artis zaman sekarang,
yang terbilang mendapatkannya dengan cara instan dan belum mumpuni, sudah
berani ngomong sana-sini. Hal ini berbeda dengan sosok KH. Zainal Abidin
Munawwir, dari masa muda sudah terlihat dari sikap periulakum dan tutur
katanya.
Kisah perjalanan beliau, tentu akan menjadi banyak inspirasi
dan contoh bagi para santrinya atau yang mengenal bailau. Semoga Allah SWT mengampuni
dosa-dosa, menerima amal dan ibadah, serta menempatkannya di tempat yang
terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar