Ya Nabi salam alaika…
Ya Rasul salam alaika…
Ya habibie salam alaika…
Shalawatullah alaika…
Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan
pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan
menggema.
Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik.
Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya,
kita harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon
Si Thammarat, lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira-kira satu jam
ke pedalaman.
Masuk di tengah-tengah desa-desa dan perkampungan umat Budha,
di situ berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang
murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yang tersebar di kampung-kampung
yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap
masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tuanya untuk sekolah ke Pondok,
untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini
mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.
Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah
satu kegiatan puncak untuk keluarga pengasuh pondok ini.
Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang di antara para
guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan
perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan beasiswa AFS untuk sekolah SMA
setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah.
Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang
kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960-an, cucu
tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas
dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana
mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika?
Tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri
belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separuh
takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang
digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.
Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu,
mengatakan, “Saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan
saya ikhlas jika dia berangkat”.
Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang
berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju.
Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu
terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan
mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu
terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang
bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh
keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.
Dia pulang sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN. Pondok Ban Tan
jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah
menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menteri Luar Negeri
(Menlu) di Negara berpenduduk mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; di
kampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya.
Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah
dukungan dari berbagai negara.
Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk Pondok
mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah
di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” di
sini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta
Muslim Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia
masih persis seperti kata kakeknya. Ketika bertemu pertama kali dengan Surin
tahun 2006 yang lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan:
isyhadu bi ana muslimin.
ABW-Surin Ramadhan kemarin, saat kami makan malam – Ifthar
bersama – di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization
Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin mengundang saya ke
pondoknya awal Oktober.
Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung.
Sesudah itu, dia kirim beberapa SMS meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama
daripada ke “Ban-Dung”.
Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri,
bersyukur rasanya saya mengubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban
Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk di samping Surin, selesai sholat ratusan
tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya.
Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan,
mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata,
dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.
Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung
untuk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan
kemahiran bercakap Melayu, Inggris, dan Arab. Sebagai puncak acara mereka
tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni
panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.
Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim
tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk
sarapan pagi bersama di pondoknya. Kami ngobrol panjang dan saya tanya asal
keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakeknya dari Sumatera,
tapi dia keturunan Hadramauth.
Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa
ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni
pondoknya (seorang doktor ilmu managemen) untuk antarkan saya ke Masjid di
kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.
Surin Pitsuwan dalam acara di Pondok Ban Tan.
Surin Pitsuwan dalam acara di Pondok Ban Tan.
Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat
sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah
yg dipimpinnya. Kami berdiskusi tentang suasana di sini, tentang Minang, dan
tentang kemajuan.
Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan
beberapa foto-foto orangtuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah
Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai
di Thailand Selatan dan jadi guru agama.
Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi
pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh
kedamaian.
Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi
ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan
kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana
megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan
suasana sederhana, sangat bersahaja.
Sekali lagi kita ditunjukkan betapa hebatnya efek pendidikan.
Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah, lalu biarkan anak
muda terbang mencari ilmu, membangun jaringan, merajut masa depan.
Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan
pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa
manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.
Di airport kami berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan
Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN
dalam ASEAN-European Summit.
Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin
delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan pada hari ini juga Ibunya masih tetap
tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti
saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.
Barakallahu lakum…
*
Saat mengakhiri tugas sebagai Sekjen ASEAN beberapa waktu
yang lalu, Surin Pitsuwan menghibahkan mobilnya untuk Indonesia Mengajar.
Video Surin Pitsuwan bicara mengenai Milad ke 62 Pondok Ban
Tan dapat dilihat di link ini.
Foto kedua didapat di link ini.
***
Surin Pitsuwan, berhasil memadukan potensi kelas dunia dan
pemahaman akar rumputnya lewat pendidikan. Apa upaya yang telah Anda lakukan
untuk menghadirkan Surin Pitsuwan lain di sekitar Anda?
Sumber: Turun Tangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar