Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam
terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk
saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda
diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan
mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan
di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi,
ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai
dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.
Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat
itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari
masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan
sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya
justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya,
bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah
yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa
melihat nama kelompok dan status agama.
Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus
menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut
dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah
yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani.
Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok
yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan
permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga
pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis
madrasah tersebut, kemudian dia berkata:
“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu,
berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini
menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”
Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling
meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh
besar Islam ini benar-benar terwujud.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar