Kamis, 14 Februari 2013

Kerendah Hatian Gus Dur (KH. Abrurohman Wahid)


Oleh: Nuruddin Hidayat

Suatu ketika Gus Dur berkenan menghadiri undangan di daerah Tegal. Seperti biasa Gus Dur selalu didampingi pengawal dan supir serta beberapa orang lain yang menemani perjalanan beliau.

Perjalanan ini merupakan rangkaian dari beberapa undangan dari warga Nahdliyin kepada beliau untuk menghadiri acara Haul para Kyai dan acara PKB di daerah yang ketika itu dipimpinnya.

Dari Jakarta kami ke Surabaya dan keliling ke beberapa daerah di Jawa Timur diteruskan ke Jawa Tengah. Dari Semarang kami melanjutkan ke daerah Tegal lewat jalan darat. Memang ada pengusaha yang menawarkan Helicopter untuk dipergunakan selama perjalanan oleh beliau. Namun dengan halus beliau menolaknya.

Suatu ketika aku (NH) bertanya: “Pak, itu Pak …(X)… nawarin Heli kok dipun tolak?”


GD: “Ra sah numpak Heli... nanti kita lewat jalan darat saja sekalian mampir ziarah ke makam para ulama dulu yang tidak kamu kenal. Lha wong dia nyediain Heli karena ada maunya…”

NH: “Nyuwun sewu gadah kepentingan napa Pak.”

GD: “O dia lagi ada masalah, sekarang belum ada apa-apa tapi nanti bakalan diusut, dan jadi rame…”

NH: “O... ngaten to?”

Dan ternyata beberapa tahun kemudian memang pengusaha tersebut tersangkut masalah.

Akhirnya rombongan kami pun sampai di kota Tegal dan langsung menuju ke lokasi acara di sebuah desa di selatan kota Tegal. Ribuan orang sudah memadati lapangan sejak pagi untuk mendengarkan taushiyah dari Gus Dur dalam acara Haul salah satu Kyai pendiri pesantren di Tegal. Seperti biasa ketika acara berlangsung aku pergi memisahkan diri dari rombongan jalan-jalan di seputar lokasi acara sambil melihat langsung kehidupan masyarakat desa.

Selesai acara haul, rombongan kami hendak kembali ke Jakarta dengan menggunakan Kereta Api dari stasiun Tegal. Hiruk pikuk pun terjadi di stasiun Tegal. Semua pejabat di Tegal ikut mengantar keberangkatan beliau tak lupa juga kepala stasiunnya. Masyarakat yang tidak menduga kalau Gus Dur akan naik KA berebut ingin bersalaman hanya ingin ngalap “barokah” suatu hal yang biasa di masyarakat NU.

Tiba waktunya kami berangkat di gerbong eksekutif yang sudah kami pesan duduk bersama dengan para penumpang yang sudah naik terlebih dahulu dari kota-kota sebelumnya. 15 menit setelah kereta api berjalan Gus Dur panggil pengawal kalo mau tidur di bawah saja. Kami pun bingung, aku beranikan diri menjawab: “Pak nyuwun sewu ini di Kereta pak.”

Kata beliau: “Emang kenapa kalo di kereta? Din rakyat kecil kalo naik kereta itu pada tiduran di bawah, cepet dang to digelari koran.”

Aku hanya terdiam mendengar jawaban beliau. Akhirnya kursi kami putar saling berhadapan dan di lantai kami gelari selimut. Dan dengan nikmatnya beliau tidur dan mendengkur tanpa memperdulikan status yang melekat pada dirinya (mantan Presiden RI ).

Kami pun akhirnya duduk di lantai KA dan mungkin karena sungkan para penumpang yang duduk dekat dengan kami akhirnya pada duduk di lantai mengobrol bersama dan diantaranya ada yang menitikkan air mata karena terharu melihat kerendahan hati beliau.

Tulisan ini hanya sebagai obat rinduku kepada Gus Dur. Khushushan ila hadhrati ya Habibina Syech KH. Abdurrahman ad-Dakhil bin Abdul Wahid Hasyim al-Fatihah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar