Sumber: Kumpulan Foto Ulama Dan Habaib
Oleh: Nuruddin Hidayat
Suatu ketika Gus Dur berkenan menghadiri undangan di daerah
Tegal. Seperti biasa Gus Dur selalu didampingi pengawal dan supir serta
beberapa orang lain yang menemani perjalanan beliau.
Perjalanan ini merupakan rangkaian dari beberapa undangan
dari warga Nahdliyin kepada beliau untuk menghadiri acara Haul para Kyai dan
acara PKB di daerah yang ketika itu dipimpinnya.
Dari Jakarta kami ke Surabaya dan keliling ke beberapa daerah
di Jawa Timur diteruskan ke Jawa Tengah. Dari Semarang kami melanjutkan ke
daerah Tegal lewat jalan darat. Memang ada pengusaha yang menawarkan Helicopter
untuk dipergunakan selama perjalanan oleh beliau. Namun dengan halus beliau
menolaknya.
Suatu ketika aku (NH) bertanya: “Pak, itu Pak …(X)… nawarin
Heli kok dipun tolak?”
GD: “Ra sah numpak Heli... nanti kita lewat jalan darat saja
sekalian mampir ziarah ke makam para ulama dulu yang tidak kamu kenal. Lha wong
dia nyediain Heli karena ada maunya…”
NH: “Nyuwun sewu gadah kepentingan napa Pak.”
GD: “O dia lagi ada masalah, sekarang belum ada apa-apa tapi
nanti bakalan diusut, dan jadi rame…”
NH: “O... ngaten to?”
Dan ternyata beberapa tahun kemudian memang pengusaha
tersebut tersangkut masalah.
Akhirnya rombongan kami pun sampai di kota Tegal dan langsung
menuju ke lokasi acara di sebuah desa di selatan kota Tegal. Ribuan orang sudah
memadati lapangan sejak pagi untuk mendengarkan taushiyah dari Gus Dur dalam
acara Haul salah satu Kyai pendiri pesantren di Tegal. Seperti biasa ketika
acara berlangsung aku pergi memisahkan diri dari rombongan jalan-jalan di
seputar lokasi acara sambil melihat langsung kehidupan masyarakat desa.
Selesai acara haul, rombongan kami hendak kembali ke Jakarta
dengan menggunakan Kereta Api dari stasiun Tegal. Hiruk pikuk pun terjadi di
stasiun Tegal. Semua pejabat di Tegal ikut mengantar keberangkatan beliau tak
lupa juga kepala stasiunnya. Masyarakat yang tidak menduga kalau Gus Dur akan
naik KA berebut ingin bersalaman hanya ingin ngalap “barokah” suatu hal yang
biasa di masyarakat NU.
Tiba waktunya kami berangkat di gerbong eksekutif yang sudah
kami pesan duduk bersama dengan para penumpang yang sudah naik terlebih dahulu
dari kota-kota sebelumnya. 15 menit setelah kereta api berjalan Gus Dur panggil
pengawal kalo mau tidur di bawah saja. Kami pun bingung, aku beranikan diri
menjawab: “Pak nyuwun sewu ini di Kereta pak.”
Kata beliau: “Emang kenapa kalo di kereta? Din rakyat kecil
kalo naik kereta itu pada tiduran di bawah, cepet dang to digelari koran.”
Aku hanya terdiam mendengar jawaban beliau. Akhirnya kursi
kami putar saling berhadapan dan di lantai kami gelari selimut. Dan dengan
nikmatnya beliau tidur dan mendengkur tanpa memperdulikan status yang melekat
pada dirinya (mantan Presiden RI ).
Kami pun akhirnya duduk di lantai KA dan mungkin karena
sungkan para penumpang yang duduk dekat dengan kami akhirnya pada duduk di
lantai mengobrol bersama dan diantaranya ada yang menitikkan air mata karena
terharu melihat kerendahan hati beliau.
Tulisan ini hanya sebagai obat rinduku kepada Gus Dur.
Khushushan ila hadhrati ya Habibina Syech KH. Abdurrahman ad-Dakhil bin Abdul
Wahid Hasyim al-Fatihah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar