Seumber: Aqil Fikri
Mbah Kiyai Zainuddin adalah ulama besar Nusantara yang
"paling tidak terekspose" bila dibanding dengan ulama-ulama
seangkatannya semisal Syekh Nawawi al-Bantaniy, Syekh Sholeh Darat (guru
beliau), Syekh Kholil Bangkalan, KH. Dimyathi Tremas Pacitan, Syekh Asnawi
Kudus.
Ketika dulu para santri masih menggunakan sitem rihlah
(kelana), maka Mbah Kiyai Zainuddin adalah salah satu ulama "wajib"
yang dituju para santri pada zaman itu dalam rangka menyempurnakan keilmuan
para santri. Dari segi usia memang beliau paling muda dengan teman
seangkatannya namun beliau yang paling akhir meninggal dunia (menurut
keterangan salah satu santrinya wafat beliau tahun 1954).
Beliau menempati sebuah pondok tua yaitu di Mojosari Loceret
Nganjuk. Mungkin karena secara geografis berada di kaki gunung Wilis, maka
beliau "tidak banyak diekspose" dibanding sahabat-sahabatnya, karena
memang dalam sejarahnya beliau cenderung bergerak dalam keilmuan tasawwuf.
Syahdan pada suatu hari, seperti biasanya pesantren di bulan
Sya'ban selalu mengadakan imtihan (selametan) pengajian pondok di akhir tahun.
Pada waktu itu beliau bersama-sama pengurus pondok dan tokoh-tokoh kampung
Mojosari berkumpul mengadakan musyawarah untuk gawe besar ini. Disepakati
perayaan imtihan dilakukan semeriah mungkin dan dilakukan beberapa hari baik
melibatkan pondok maupun masyarakat Mojosari. Akhirnya ada sebagian masyarakat
yang mengusulkan diadakan kesenian rakyat yaitu "JARANAN", dan beliau
mbah Kiyai Zainuddin mengiyakan dengan syarat dilakukan di awal dan di luar pondok
(di kampung). Maka bersemangatlah masyarakat Mojosari (saat itu masyarakat
Mojosari 90% masih abangan dan terkenal sebagai tempatnya maksiyat).
Berhari-hari masyarakat Mojosari dan pondok dalam suasana
gembira. Rupanya hal ini terdengar sampai jauh di luar Nganjuk. Terbukti para
Kiyai menyikapi insiden tersebut karena melihat bahwa Mbah Kiyai Zainuddin
adalah salah satu tokoh ulama yang paling disegani. Mereka para Kiyai takut hal
ini akan berdampak pada masyarakat santri pada waktu itu. Akhirnya Hadhratus
Syekh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisyri Sansuri dan
para Kiyai lain bermusyawarah melakukan sikap dan meminta pada Mbah Kiyai
Zainuddin untuk bersikap tegas dengan adanya "JARANAN" masuk dalam
kegiatan Imtihan. Mereka para Kiyai akhirnya tidak menuai kesepakatan siapa
yang harus sowan menghadap kepada Mbah Kiyai Zainuddin. Mereka tidak ada yang
berani menghadap mengingat mereka semua adalah murid dan santri beliau. Karena
semua Kyai tersebut tidak berani menghadap, akhirnya disepakati dengan memakai
mediator surat pernyataan dan ditandatangani oleh bersama.
Setelah selesai rapat musyawarah pernyataan sikap, para Kiyai
pulang ke rumah masing-masing. Tempat musyawarah waktu itu dilaksanakan di
Tebuireng.
Saat Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari istirahat, di dalam
istirahat itu beliau diingatkan Allah Swt. lewat mimpi, dimana dalam mimpi itu
KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama seluruh Nusantara mengadakan shalat jama'ah.
Dan ternyata dalam shalat jam'aah para ulama itu yang menjadi Imam adalah Mbah
Kiyai Zainuddin. Sedangkan beliau Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari berada
pada barisan shof nomer 7.
Setelah terbangun, surat yang tadi sudah jadi dengan tanda
tangan yang lengkap dan tinggal dikirim akhirnya tidak jadi disampaikan kepada
Mbah Kiyai Zainuddin. Lantas KH. Hasyim Asy’ari mengabari perihal mimpinya
tersebut kepada para Kiyai yang ikut menandatangani surat pernyataan di atas.
Mereka semua akhirnya sepakat bahwa itu bukan wilayah mereka ngurusi (ikut
campur) urusan guru mereka.
Berkat karamah yang dimiliki Mbah Kiyai Zainuddin tersebut,
terbukti sekarang masyarakat Mojosari Nganjuk yang tadinya 90 % abangan menjadi
99% Islam dan ta'at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar