Sumber : Cak Nun
Saya itu sebenarnya jarang tidur ketika maiyahan berlangsung.
Namun dasar manusia, hal yang saya hindari ini terjadi juga, yakni ketika ada
acara maiyahan dengan masyarakat Andong di Boyolali tanggal 16 Desember 2012
yang lalu. Maklum saja, sebelum itu seharian saya baru saja mendampingi mantan
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berbicara dalam tema seminar kebangsaan, dan
seharian berikutnya takziah teman.
“Sialnya”, pas enak-enaknya “ngorok”, saya seperti bermimpi
dan sayup-sayup terdengar nama saya disebut Cak Nun untuk naik panggung. Tentu
saja saya gelagapan. Masih dengan mata yang “hayub-hayuben” saya naik panggung,
dan disitu beliau langsung “mengerjain” saya dan Pak Ilyas untuk sedikit
“menganalisis” masyarakat Boyolali.
Wah ini tentu jadi antiklimaks, pikir saya. Mestinya kalau
dalam pertandingan tinju, umumnya petinju ayam sayur dahulu yang naik pentas,
namun ini justru sebaliknya, yakni petinju ayam sayur yang “memuncaki” acara
setelah Mike Tyson bertanding. Tapi maiyahan tentu bukan acara pertandingan
tinju, namun bagaimana kita mesti duduk melingkar, “sinau bareng” membaca dan
menganalisis satu keadaan dan situasi, untuk kita cari jalan keluarnya sesuai
tuntunan dan ajaran Allah SWT serta Rasulullah SAW. Ini adalah wujud cinta
segitiga antara kita — Allah — dan Rasulullah.
Yang saya ketahui tentang Boyolali dan daerah lainnya di Jawa
Tengah adalah bahwa kebanyakan masyarakatnya, terutama yang tinggal di desa,
sangat kreatif dalam menghadapi hidup ini. Kita sering tidak mengenali bahwa
kita sebenarnya adalah bangsa yang unggul di dunia. Demikian juga masyarakat
desa kita sejak dulu. Coba hitung saja aneka makanan, minuman, produk
kerajinan, bahkan produk budaya atau bahasa yang dapat diciptakan masyarakat
desa kita. Tentu kita akan terkejut.
Dulu sewaktu saya masih kanak-kanak pada tahun 70-an,
dinamika ekonomi perdesaan sungguh mengagumkan. Mereka mampu menciptakan jenis
barang apa saja yang berbahan dasar dari alam. Sebut saja ada tikar dari daun
pandan, payung dari kayu, peralatan rumah tangga dari kaleng bekas, bambu atau
kayu, dan sebagainya.
Dalam menciptakan makanan, mereka juga kreatif. Kalau orang
Barat hanya mampu bikin burger, pizza, atau sandwich, sebaliknya jangan ditanya
kreativitas masyarakat desa. Dari bahan singkong saja, puluhan jenis makanan
dapat diciptakan, mulai dari getuk, kripik, sawut, tiwul, utri, mentho,
ceriping, dan sebagainya. Demikian pula aneka jenis sambal, ada sambal korek,
bajak, jenggot, terasi, bawang, dan seterusnya. Aneka minuman yang diciptakan
juga luar biasa banyaknya, ada wedang jahe, ronde, bajigur, kolak, dawet,
sekoteng, cao, dan sebagainya.
Aneka jenis kreativitas itu kini digilas oleh kapitalisme
global. Saya heran mengapa orang lebih suka fried chicken bikinan Barat,
padahal rasanya tak lebih hebat dari ayam goreng mbok Berek yang dibuat dari
ayam kampung dan bukan dari ayam sayur yang empuk? Mengapa orang suka minuman
bersoda bikinan pabrik yang bikin kembung di perut dan rasa manisnya menyengat
di lidah, serta jika kita minum malahan tambah haus? Untuk tiduran juga lebih
enak pakai tikar pandan daripada tikar dari plastik yang panas.
Singkatnya, kreativitas masyarakat desa sesungguhnya
memperlihatkan keunggulan budaya mereka atas budaya asing. Dalam soal bahasa
saja misalnya, orang asing hanya mengenal istilah “bring” untuk terjemahan kata
“membawa”. Namun bagi orang Jawa, terjemahan kata “membawa” harus diletakkan
dalam konteksnya. Kalau membawa barang dengan menggunakan kepala itu namanya
“nyunggi”, kalau di pundak “mikul”, kalau di punggung “gendong”, kalau di
tangan “nyangking”, kalau di pinggang “ngindit”, dan seterusnya. Kekayaan
budaya tersebut menunjukkan tingginya mutu peradaban mereka. Masalahnya
peradaban itu kini redup dan urung membawa kepada kejayaannya.
Konsep Kutub Pertumbuhan
Dari perbincangan ringan tersebut makin nampak bahwa
kemunduran peradaban masyarakat desa terkait erat dengan sistem ekonomi-politik
sebuah negara. Pada masa Orde Baru untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut
konsep kutub pertumbuhan. Konsep ini dilakukan dengan jalan mengalokasikan
investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar.
Harapannya, pertumbuhan ekonominya dapat
menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan
trickle down effect).
Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa industrialisasi
dipandang sebagai resep yang mujarab untuk mengurangi kemiskinan,
keterbelakangan, dan pengangguran di negara-negara sedang berkembang. Dengan
kata lain, sebuah transformasi ekonomi akan diciptakan. Dengan industrialisasi,
diharapkan akan muncul peluang kerja dan mampu menampung luapan kerja dari
sektor pertanian.
Dari titik inilah diharapkan tumbuh usaha kecil menengah
usaha farm, ada pergerakan modal, ada kredit, teknologi dengan riset. Dengan
mendorong kerangka institusional di perdesaan, maka dapat mendorong pertumbuhan
regional. Selanjutnya melalui integrasi ke sistem pasar dapat
keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1). Menumbuhkan skala ekonomi yang
efeknya dapat menyebar di perdesaan; 2). Membantu mengorganisir ekonomi
perdesaan di daerah belakanganya (hinterland) dengan penawaran atau supply,
pasar dan administratif; 3). Harus ada inovasi agar enterpreuner atau
wirasusahawan dapat terbentuk; 4). Ada investasi yang kembali yang dapat
digunakan untuk pembangunan ke depan.
Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak
cocok di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena ada dualisme antara
sektor pertanian dan industri, serta penetrasi kapitalisme global sebagaimana
ditunjukkan sebelumnya. Pada satu sisi sektor pertanian banyak mengalami
hambatan karena lahan pertanian — terutama — di Jawa sangat sempit karena ada
fragmentasi atau pewarisan. Pada sisi lain, sektor industri sangat padat modal
dan berorientasi kepada substitusi impor. Kendali ada di Negara-negara maju,
dan Indonesia hanya sebagai “tukang jahit”.
Membanjirnya produk-produk tekstil dari Cina maupun
terperangkapnya Indonesia dalam produksi pangan, menunjukkan bahwa daya ekspor
negeri ini masih lemah. Mulai dari hilir sampai hulu, Indonesia masuk dalam
perangkap pangan (food trap) dari negara-negara maju. Industri perbenihan kita
dikuasai raksasan MNCs seperti Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, dan sebagainya
dengan total nilai 40 miliar US dollar. Demikian pula dalam industri pengolahan
pangan, MNCs seperti Nestle, Kraft Food, Cargill dan Unilever juga menguasai
pangsa pasar dengan nilai 490 miliar US dollar, bahkan di tingkat pengecer pangan,
MNCs seperti Carrefour, Wal Mart, Tesco dan Metro Group juga menguasainya
dengan total nilai sebesar 1.091 miliar US Dollar. Akibatnya petani kita terus
terpuruk, karena kedelai, gula, beras, bahkan garam pun harus diimpor.
Pembangunan sektor pertanian yang terintegrasi dengan sektor
industri nampaknya berhasil dilakukan oleh pemerintah Cina. Slogan Cina adalah
“Leave agriculture, but not the country side” serta “enter the factory, but not
the city”. Artinya pemerintah Cina mempersilakan warga desa untuk meninggalkan
pertanian, namun jangan tinggalkan desa, dan memperbolehkan memasuki basis
manufaktur, namun jangan masuk kota.
Hasilnya desa-desa di Cina dipenuhi berbagai aktivitas
pertanian sekaligus terkait erat dengan industri moderen di perkotaan. Industri
komponen motor Cina (Mocin) dibuat di pelosok-pelosok desa. Fakta ini
membuktikan bahwa basis industri di Cina tidak dapat lepas dari kekuatan
masyarakat desa.
Cina berhasil membangun desa dan diversifikasi pertanian
dijalankan dengan amat mengagumkan. Dari keterkaitan ke belakang (backward
linkage) dari hasil-hasil pertanian ke sektor moderen (forward linkage),
tercipta sebuah keterkaitan produksi (production linkage). “Kasus” Cina tentu
berbeda dengan Negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia, dimana sektor
pertanian tidak adanya jalinan produksi dengan sektor modern. Yang terjadi
malahan keterkaitan konsumsi (consumption linkage).
Artinya kota-kota besar di Indonesia malahan menjadi
“parasit” dan menyedot sumberdaya desa secara gila-gilaan. Tetesan ke bawah
(trickle down effect) dan sebaran kemakmuran (spread effect) tidak terjadi!
Akibatnya dapat diduga, arus migrasi dari desa ke kota di negeri ini luar biasa.
Tahun 2008 Jawa Tengah “sukses” mengirimkan 13.000 tenaga kerja ke Jakarta
dalam arus balik lebaran. Diduga, desa-desa di Jawa Tengah mengalami kelangkaan
kesempatan kerja. Justru produk-produk moderen dari kota dan dari pusat
kapitalisme dunia deras mengalir ke desa. Hadirnya puluhan stasiun TV swasta,
makin menyuburkan pola konsumsi masyarakat desa.
Dari sketsa tersebut nampak bahwa kalau negara-negara maju
mengalami proses yang simultan antara sektor pertanian dan sektor moderen, maka
negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak demikian. Inilah akar
masalahnya.
Meneladani Rasulullah
Karenanya, pada acara maiyahan di Boyolali tersebut saya
menyentil para ulama setempat untuk meneladani Rasulullah yang sangat berhasil
membangun UKM di Madinah. Rasulullah mewakafkan hampir 95% harta beliau untuk
membangun ekonomi kerakyatan. Lalu jika kita lihat ulama sekarang, adakah hal
itu terjadi di masa kini? Saya menyebut bahwa sekarang banyak ulama yang
dahsyat pengetahuan dan ilmu fiqh-nya, namun sangat sedikit yang mampu
membumikannya.
Dalam ekonomi global ini, kejahatan kapitalisme raksasa,
telah mencuri dan merampok kehebatan dan kreativitas masyarakat desa. Pada satu
sisi lewat brain washing gencar melalui TV swasta dan media massa, masyarakat
(desa) dijejali dengan gaya hidup konsumtif, serta pada sisi lain, karya-karya
nenek moyang kita dicuri dan dirampok. Lihat dan hitung saja jumlah
kemasan-kemasan makanan dan minuman di super market yang sesungguhnya dicuri
dari karya nenek moyang kita. Misalnya ada kemasan beras kencur, sekoteng,
wedang jahe, bajigur, sambal terasi, bumbu dapur, obat-obatan herbal dan
seterusnya. Nenek moyang kita tak pernah mengenal “hak paten”, karena semuanya
adalah milik Gusti Allah.
Kini proses perampokan dan pencurian kekayaan budaya nenek
moyang kita terus berlangsung. Nah dari titik inilah saya mengajak para ulama
di Boyolali dan di daerah lain, untuk meneladani Rasulullah. Peran mereka tidak
hanya terbatas mengajarkan kitab kuning dan dalil-dalil beku, namun juga membantu
menciptakan ekonomi kreatif masyarakatnya. Bukankah 96,5% isi Al Qur’an adalah
soal muamallah? Bukankah Rasulullah telah meneladaninya ketika beliau di
Madinah?
Para ulama harus bergerak di tengah-tengah pemerintah — sadar
atau tidak — pro Barat. Pembangunan di desa terus merosot sebagaimana
ditunjukkan oleh beberapa hal, diantaranya: meningkatnya jumlah petani gurem,
rata-rata pemilikan lahan sawah yang terus menurun yakni hanya 0,3 hektar,
menurunnya PDRB sektor pertanian, merosotnya nilai tukar petani, para petani
masuk dalam perangkap pangan (food trap, karena sektor pertanian dari hulu
sampai hilir dikuasai kapitalisme global),dst. Pada sisi lain tingkat
urbanisasi saat ini sudah lebih dari 43%.
Singkatnya, urbanisasi bukan hanya menyangkut persoalan arus
migrasi berlebih dari tenaga kerja tidak terampil saja, namun juga adanya
faktor ekonomi politik yang lebih luas. Kota-kota di negeri ini tidak didukung
oleh basis industrialisasi yang kuat sejak era kolonial, dan sampai saat ini
terus dibanjiri “foot loose industry” atau industri yang tidak berakar, serta
kurang erat (untuk tidak mengatakan “tidak ada”) forward dan backward linkage
dengan perdesaan.
Kota hanya merupakan simpul jasa dan distribusi, terutama
dari luar negeri, sehingga kota-kota kita
tumbuh dan berkembang terutama hanya dari kekuatan sektor jasa,
perdagangan, dan industri rumah tangga lainnya yang skalanya relatif kecil.
Urbanisasi di negara-negara maju berjalan relatif linier dari
sektor pertanian ke sektor industri baru kemudian ke sektor jasa, sedangkan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, urbanisasi berjalan tidak linier,
yakni dari sektor pertanian langsung ke sektor jasa dan perdagangan, tanpa
melewati proses industrialisasi yang sesungguhnya.
Kota dibanjiri sektor informal, dan kekuatan sektor informal
harus dikaitkan dengan produktivitasnya, karena meskipun mereka umumnya
ber-involusi, namun ada yang ber-evolusi menjadi besar dan memiliki kekuatan
“public space” sehingga mampu bersaing dengan sektor perdagangan moderen yang
besar.
Karenanya kini harus ada upaya kuat untuk mbangun desa.
Konsep ini harus diterjemahkan dalam arti luas bahwa membangun desa bukan hanya
dari sektor pertanian saja, namun dalam skala yang lebih luas. Potensi desa
yang luar biasa harus dicari, diidentifikasi dan dikembangkan.
Sebagai contoh di Desa Tahunan Jepara, ada usaha ukir yang
mendunia, yang banyak dipesan para importir Eropa, terutama Italia. Para
perajin dan seniman di desa ini sanggup membuat desain apa saja sesuai
permintaan pasar Eropa. Boleh jadi di Eropa mebel kita dipoles sedikit dan
diberi merek “made in Italy”, lantas diborong lagi orang Semarang dan
dikapalkan ke rumahnya, karena dikira asli Eropa.
Demikian pula di Cepogo Boyolali, meski tidak ada tambang
tembaga, namun di desa ini banyak memproduksi kerajinan dari bahan tembaga
sehingga banyak terjadi transaksi ekonomi. Mengapa hal ini dapat berkembang di
dua desa yang saya contohkan tsb? Jawabnya adalah mereka memiliki modal
sumberdaya manusia yang kreatif.
Kekuatan desa yang perlu dibangun adalah Life space yakni
menciptakan rasa bangga terhadap daerahnya sehingga menumbuhkan — political
community, dan rasa memiliki desa (The sense of region, kata Lynch) atau Space
to place kata Trancik, yakni keterikatan manusia dan ruang — power of territory
yang akan melahirkan social power: kebanggaan produksi lokal.
Ayo kaum ulama, buktikan bahwa engkau juga pengikut
Rasulullah yang setia. Teladani beliau ketika mengembangkan dan membangun
masyarakat kreatif di Madinah. Islam bukan hanya dalil-dalil beku, namun justru
memproduk si kreativitas yang mensejahterakan dan mendekatkan kepada Allah dan
Rasulullah. Inilah yang disebut Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar