Kota itu bagi banyak penghuninya sedang terlelap dalam
tidurnya. Bahkan bagi sebagian mereka seperti sedang mati.
Nyala api dalam misykat penerang kota tinggal beberapa saja yang masih hidup.
Tapi ada dua kelompok manusia yang justeru memiliki titik pandang yang berbeda:
Baghdad larut malam sangat bergairah. Baghdad menggilar justru di malam hari.
Dua kelompok manusia ini hidup di dua tempat yang berbeda,
dan melakukan aktivitas yang bukan saja tak sama, tapi lebih dari pada itu,
bertentangan seratus delapan puluh derajat. Yang satu hidup di kedai-kedai
malam yang sesak dengan nyanyian para biduanita dan ocehan para pemabuk.
Sementara yang satunya lagi hidup dalam kedamaian rahmat dan lantunan nyanyian
alam mendendangkan puji-pujian kepada Sang Pencipta.
Dua kelompok ini selalu ada, menghiasi persimpangan jalan
kehidupan dunia, hinggi di era emas penegakan nilai-nilai keagamaan sekalipun.
Tidak lazim dua kelompok ini saling bertemu meski
bersama-sama dalam gemerlapan dan bersama-sama pula dalam kesunyian. Karena
yang satu dalam gemerlapan dunia, sementara yang lainnya dalam gemerlapan
batin. Yang satu hidup dalam kesunyian batin dan yang lainnya hidup dalam
kesunyian malam. Namun ada kalanya takdir menemukan keduanya, dan itulah
saat-saat rahasia Tuhan sedang mengungkapkan diri.
Malam itu, Imam Musa Al-Kadzim menyusuri jalan-jalan sunyi
Baghdad. Entah mengapa tiba-tiba Musa berkeinginan untuk menghirup udara malam
di jalanan. Melewati sebuah kedai malam, seorang wanita cantik melemparkan
kulit pisang tepat di depannya. Laki-laki berwibawa itu menoleh, pandangannya
tajam menerawang ke dalam kedai. Aroma arak dan bising musik menanarkan mata
Sang Imam. Hatinya tergores mengungkapkan rasa iba.
"Wahai Jariyah, pemilik kedai ini seorang yang bebas
merdeka, atau seorang hamba sahaya?" tanya Imam dengan kewibawaan seorang
kinasih Tuhan.
"Seorang yang bebas merdeka .."
"Pantas saja! Andai dia seorang hamba sahaya sudah
barang tentu dia akan takut terhadap Tuannya."
Atas tegur sapa ini, wanita penghibur itu sedikit terlambat
masuk kembali ke dalam kedai. Pemilik kedai pun menanyakannya.
"Kenapa lama sekali kau di luar?"
"Seseorang yang sangat berwibawa sedang lewat di depan,
dan menanyakan ini itu kepada saya. Kata dia, andai pemilik kedai ini seorang
hamba sahaya tentu akan takut kepada Tuannya."
Kalimat itu sangat menohok hatinya. "Andai seorang hamba
tentu akan takut terhadap Tuannya!" Dia berfikir keras mengenai ucapan
lelaki berwibawa itu. Bergegas dia keluar mengejarnya. Dia lari dengan kaki
telanjang, dia tak sempat memakai alas kaki. Sesampai di depannya, dia pandangi
wajah lelaki berwibawa itu .. dia terus memandanginya, hingga matanya
berkaca-kaca. Satu persatu air matanya menetes, dan dia pun berlutut di
depannya. Dia menyatakan taubat kepada Allah!
Sejak saat itu, dia tak pernah lagi memakai alas kaki. Dia
adalah sufi sangat masyhur, Bisyr bin al-Harits al-Hafi, yakni Bisyr Sang Sufi
yang tak beralas kaki. Bukan karena dia anti terhadap alas kaki. Sama sekali
bukan! Dia tahu benar Rasulullah, kekasihnya, memakai alas kaki. Dia murni
tersedot, majdub, untuk tak memakainya karena itu selalu mengingatkannya dengan
awal mula pertaubatannya.
Ini mengingatkan kepada kisah seorang wanita 50an tahun yang
setia dengan rukuh lusuhnya. Putrinya selalu membujuk dia agar menggantinya
dengan rukuh yang baru. "Bukankah yang demikian ini lebih baik?",
dalih putrinya. Tapi wanitu itu tak bergeming, hingga putrinya tak tahan dan
menyembunyikan rukuh yang lusuh itu, lalu menggantinya dengan rukuh yang baru.
"Maaf Bu, rukuh Ibu hilang di jemuran dan sudah saya
ganti dengan yang baru." katanya.
Wanitu baya itu menangis. Dan katanya kepada putrinya:
"Anakku, rukuh itu adalah hadiah perkawinan dari
almarhum ayahmu. Rukuh itu lah yang mengenalkan ibumu kepada Allah. Rukuh itu
memang sudah lusuh, tapi rukuh itu selalu mampu membawa kebaruan iman dan
cinta. Apa arti rukuh baru jika iman dan cinta justru lusuh."
Ya, kebaruan iman dan cinta tidak selalu sejalan dengan
kebaruan atribut luar. Rukuh dan baju boleh jadi baru, masjid juga boleh jadi
megah dan mewah. Tapi seringkali kebaruan iman justru tebungkus dalam rukuh
yang lusuh dan ternaungi dalam langgar yang kuno.
Banyuwangi, belajar memperbarui iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar