Tuhan dalam menciptakan alam semesta beserta
isinya, termasuk manusia, pasti memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu harus
selalu manusia baca agar segala gerak-geriknya selalu sejalan dengan tujuan
Tuhan. Untuk membaca tujuan-tujuan tersebut tentu memerlukan piranti canggih
yang dengannya tujuan-tujuan Tuhan akan tersingkap. Dan piranti canggih
tersebut tak lain adalah teori Maqâshid al-Syari’ah.
Yang penulis maksud dengan kontekstualisasi
di sini adalah upaya pembacaan terhadap berbagai problematika kontemporer
melalui kacamata maqâshid al-syarî’ah. Semisal terkait prolematika demokrasi,
keadilan sosial, kapitalisme, persatuan dst. Problematika-problematika
tersebut, khususnya demokrasi, harus mendapatkan perhatian khusus oleh agama.
Sebab, diakui ataupun tidak, masih ada saja umat Islam yang membabi buta
menolak demokrasi dengan motif keagamaan, yakni dalih bertentangan dengan
Islam. Implikasinya, demokrasi tidak berjalan lancar, bahkan pincang. Sebab,
meskipun banyak pembelanya akan tetapi tidak sedikit yang menyerangnya.
Oleh karena itu, menjadi keharusan adanya
penalaran khusus melalui pintu agama. Yang mana dari penalaran tersebut
nantinya akan tersibak apakah demokrasi bertentangan dengan Islam ataukah
justru sejalan (?). Dan teori al-maqâshid, yang merupakan piranti pembacaan
dalam Islam, bisa menjadi pirantinya. Apakah demokrasi sesuai dengan tujuan
Tuhan, sehingga harus diperjuangkan? Ataukah bertentangan, sehingga harus
diperbaiki sistemnya agar sesuai? Terlepas dari itu, ketika demokrasi, untuk
konteks Indonesia khususnya, masih terkesan liar maka sesungguhnya teori
al-maqâshid bisa menjadi penjinaknya.
Menurut Syekh Yusuf al-Qardlawi dan ulama
maqâshid lainya bahwa di sana ada sebagian dari hukum-hukum syari’at yang Tuhan
hanya menjelaskan tujuannya saja. Sedangkan untuk wasilah bagaimana bisa sampai
pada tujuan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada umat manusia. Yang demikian
agar manusia leluasa memilih wasilahnya yang lebih sesuai dan maslahat dengan
situasi dan kondisi yang terus berubah-ubah. Tujuannya tetap, tapi perantaranya
bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan. Semisal firman Allah dalam surat al-Anfâl
ayat : 60,
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu
dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya
...”
Kuda adalah salah satu wasilah untuk
berperang di masa lalu. Tapi di era yang peralatan tempur serba canggih ini,
wasilah yang berupa kuda, tentu menjadi kurang efektif. Sehingga meskipun yang
diperintahkan dalam ayat adalah mempersiapkan kuda tapi kita tidak harus
mengikutinya jika nyatanya yang dihadapi adalah semisal pesawat tempur,
kendaraan baja dan kendaraan tempur lainya. Merupakan kesalahan fatal jika
berdasar pemahaman tekstual lantas kita berperang dengan kuda padahal musuh bersenjatakan pesawat tempur,
tank baja dsb.
Begitu pun kalimat "kekuatan".
Dalam hadits dijelaskan bahwa kekuatan itu adalah panah, yang pada waktu itu
memang sangat efektif. Tapi, untuk konteks sekarang, panah menjadi tidak
relevan. Sebab, musuh yang dihadapi telah bersenjatakan rudal, bahkan nuklir.
Sebab itu, panah yang disebutkan oleh Nabi untuk menafsiri kalimat quwwah
(kekuatan) harus diposisikan sebagai sebatas wasilah pertahanan saja. Sementara
tujuan inti Tuhan adalah, agar umat Islam memiliki kekuatan yang menggentarkan
dan mampu untuk mempertahankan diri dari serangan lawan. Terlepas apapun
wasilahnya, yang terpenting mampu mewujudkan tujuan tersebut. Bisa rudal, atau
bahkan nuklir jika memang darurat dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih
dahsyat. Jika melihat realitas sekarang dimana serangan nuklir bisa saja
menimpa umat Islam maka--dalam prespektif teori maqâshid--umat Islam telah
diizinkan memiliki senjata nuklir oleh Tuhan. Tapi—perspektif
penulis—setidaknya harus memenuhi dua syarat: pertama, dimaksudkan sebatas
untuk pertahanan, bukan untuk mengancam apalagi menyerang. Kedua, tidak
menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Pun kaitannya dengan demokrasi. Bagi penulis,
nama tidaklah terlalu penting. Sebab nama tak ubahnya kulit. Yang terpenting
adalah substansinya. Entah itu menggunakan nama demokrasi, syura, khilafah,
imamah, atau lainnya bukanlah yang urgen untuk dipersoalkan, bahkan yang
penting adalah sistem di dalamnya: mampu mewujudkan tujuan Tuhan atau tidak(?). Baik demokrasi, khilafah, syura maupun lainya
hanyalah perantara untuk menuju tujuan Tuhan berupa semisal: keadilan,
kemakmuran dan sejenisnya. Sehingga, jika yang mampu mewujudkan tujuan Tuhan
tersebut adalah syûra, maka amalkanlah syûra, jika demokrasi maka amalkanlah
demokrasi. Jika ternyata yang mempu mewujudkan tujuan Tuhan tersebut adalah
demokrasi, kemudian kita menolaknya, maka sama saja kita menentang tujuan
Tuhan.
Mari kita cermati dengan seksama tujuan Tuhan
dalam mensyari’atkan syûra (musyawarah). Firman Tuhan terkait syûra diantaranya
adalah: "sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka.” (Qs. Asy-Syura: 38), dan, “dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu.”(Qs. AliImrân: 159)
Syekh Yusuf al-Qardlawi dalam menjelaskan
kedua ayat tersebu mengatakan, "Akan tetapi bagaimana sistem Syura itu?
Siapa yang berhak bermusyawarah? Bagaimana caranya memeilih anggota
musyawarah?, dan bagaimana caranya mem-bai’at atau memilih seorang Presiden
atau khalifa? Tuhan tidak menentukan wasilahnya untuk itu semua. Bahkan
sepenuhnya diserahkan kepada umat manusia agar mereka berijtihad dalam memilihnya...dan mengembangkanya sesuai
dengan zaman dan tempantnya. Sebab itu, cara pemilihan Khalifah yang empat pun
berbeda-beda. Menyesuaikan dengan kondisi masing-masing. Dan di era kontemporer
ini kita memilih cara pencalonan dan pemilihan berdasarkan suara mayoritas.
Sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dan kita bisa meletakan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentua lain”
Intinya, seperti apapun sistem syura dan demokrasi, yang terpenting adalah
tercapainya tujuan Tuhan. Dan diantara tujuan Tuhan dengan disyari’atkannya
musyawarah adalah terselesaikanya problematika manusia. Jika demikian tujuanya,
maka sesungguhnya bisa juga dicapai melalui sistem demokrasi. Pembacaan melalui
teori al-maqâshid kaitannya dengan demokrasi—disamping yang telah
dijelaskan—juga bisa lihat dalam bebera persolalan berikut ini:
Pertama, keadilan. Bahwa salah satu tujuan
Tuhan menurunkan syari’at adalah agar keadilan ditegakkan. Hal ini bisa kita
lihat dari beberapa firman-Nya. Di antaranya adalah:
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم
الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط
" Sesungguhnya Kai telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan …” (Qs. Al-Hadîd: 25)
Tujuan Tuhan berupa keadilan yang terdapat
dalam ayat tersebut ditunjukkan oleh huruf
lâm ta’lîl (huruf yang menunjukkan alasan, dimana oleh para ulama huruf
ini dijadikan salah satu petanda untuk menunjukkan tujuan Tuhan) yang terdapat
pada kalimat ليقوم الناس بالقسط (supaya manusia dapat melaksanakan keadilan). Tujuanya adalah
keadilan, sementara wasilah agar keadilan itu terwujud diserahkan kepada
ijtihad manusia, yang tentu dengan pertimbangan Alqur’an dan hadits. Dan karena
praktik keadilan bisa berubah seiring berubahnya situasi dan kondisi maka
wasilahnya pun bisa berubah. Dan demokrasi ataupun syura adalah diantara
wasilah untuk mewujudkan keadilan tersebut yang sistemnya bisa berubah-ubah
sesuai yang maslahat.
Tapi, karena yang sedang berlangsung di
Indonesia adalah sistem demokrasi maka yang tepat adalah mengawal demokrasi ini
agar tidak liar dan mampu mewujudkan tujuan-tujuan Tuhan seperti di atas. Bukan
malah menggantinya. Dengan khilafah misalkan. Sebab bagi Islam, substansi lebih
penting, bukan sekedar nama. Terlebih pada dasarnya, tujuan yang terkandung
dalam demokrasi dan khilafah adalah sama, yakni untuk membumikan keadilan. Baik
demokrasi maupun khilafah keduanya sama-sama
sistem yang didedikasikan untuk mewujudkan keadilan. Sehingga yang lebih tepat adalah
langsung mencurahkan segala usaha untuk
mewujudkan keadilan, yang merupakan inti. Memperjuangkan khilafah untuk
menggantikan demokrasi hanya akan membuang waktu dan menciptakan masalah baru.
Sementara keadilan yang diimpikan melalui khifah belum tentu akan berhasil.
Jika memang selama ini demokrasi belum sepenuhnya mampu menciptakan keadilan
maka yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistemnya, bukan menggantinya.
Nama boleh saja berasal darimana saja tapi yang penting kandunganya tetap
islami. Seperti halnya nama kita dari bahasa Arab tapi tetap saja substansi
kita adalah orang Indonesia.
Kedua, ¬persatuan. Diantara tujuan Tuhan
adalah agar manusia bersatu dan tak saling bermusuhan. Tujuan demikian mudah
kita temukan dalam banyak firman-Nya. Tujuannya adalah persatuan, sementara
wasilahnya bisa berubah-ubah sesuai efektifitasnya. Lantas sistem manakah yang
mampu menyatukan manusia, umat Islam khususnya? Demokrasi atau khilkafah?
Jawaban penulis tegas bahwa, yang akan mampu menyatukan adalah sistem yang di
dalamnya manusia dituntut saling menghormati perbedaan dan menghapuskan
fanatisme buta serta sektarianisme. Dan demokrasi adalah sistem yang menuntut
agar manusia saling menghormati perbedaan dan menghapuskan fanatisme buta serta
sektarianisme. Jika dicermati, perpecahan-perpecahan yang terjadi di antara
umat Islam, antara Sunnah dan Syi’ah khususnya, adalah akibat fanatisme buta
dan intoleransi dari keduanya, sektarianistik. Sedang demokrasi mengharuskan
agar para pemeluknya toleran terhadap orang atau kelompok lain. Menurut
pengamatan Dr. Ahmad al-Katib bahwa yang mampu menyatukan Sunni dan Syi’ah
adalah demokrasi. Jika demikian, menolak
demokrasi sama halnya menolak persatuan umat Islam. Dan menolak persatuan umat
Islam sama halnya menantang Tuhan. Sebab tujuan Tuhan adalah agar umat Islam
bersatu. Sampai di sini penulis memiliki keyakinan kuat, jika demokrasi yang
sehat berhasil diterapkan di Dunia Arab, maka tidak mustahil jika kemudian umat
Islam mampu bersatu. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan
tujuan Tuhan.
Ketiga, kapitalisme. Firman Allah terkait
kapitalisme adalah:
ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله
وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء
منكم
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu …” (Qs. al-Hasyr: 7)
Dalam ayat tersebut terdapat maqâshid al-syarî’ah
(tujuan Tuhan) yang menegaskan bahwa kapitalisme bertentangan dengan tujuan
Tuhan, sehingga harus dilawan. Tujuan Tuhan melalui ayat tersebut adalah
bagaimana agar kekayaan tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja.
Sehingga, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Seperti yang
ditimbulkan kapitalisme. Tujuan Tuhan yang semacam itu ditunjukkan oleh kalimat
“كي لا
يكون دولة بين الأغنياء منكم (agar
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu).” Dengan demikian, menurut konsep maqâshid al-syarî’ah, bahwa kapitalisme
bertentangan dengan tujuan Tuhan. Oleh karena itu harus dilawan. Dan ketika
Indonesia saat ini-dengan sistem demokrasinya-justru sedang dihegemoni oleh
kapitalisme, maka konsep al-maqâshid ini bisa menjadi pengawal demokrasi agar
menjadi lebih bijak. Konsep al-maqâshid yang berujung penolakan terhadap
kapitalisme tentu akan membawa angin segar bagi terwujudnya “Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Oleh: Muhammad Amrullah, Mahasiswa Al-Azhar
fakultas Usuluddin, anggota LBM dan Lakpesdam PCINU Mesir
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar