Tidak hanya pindah ke
pusat-pusat belanja, kalangan atas gandrung berumrah saat Ramadan hingga tembus
Lebaran, meski ibadah itu sudah berkali-kali dilakoni. Menurut Imam Besar
Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub, Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan
hal itu. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu
produk konsumerisme berbungkus ibadah.
Berikut penuturan Ali Mustafa
Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Apa masjid kalah bersaing
dengan mal di Jakarta?
Saya tidak mengenal kata
bersaing. Yang jelas, mal berhasil menyedot jamaah banyak ke masjid menjadi
banyak ke mal. Apalagi mal ada di depan masjid, sekalian. Ini bukan karena
malnya. Ini karena faktor konsumtif. Perilaku itu membuat orang lebih banyak ke
mal ketimbang ke masjid.
Bagi sosiolog, perubahan
perilaku ini sangat menarik untuk diteliti. Lebih parah lagi, konsumerisme itu
ada yang dibungkus dalam bentuk ibadah. Misal bentuknya umrah saat Ramadan.
Pada 2009, ada 3,6 juta orang umrah ke Makkah. Sekarang mungkin sekitar empat
juta orang. Dari jumlah itu, kalau per orang dikenai biaya dua ribu dolar,
jumlah uangnya ada delapan miliar.
Jumlah itu terbuang hanya
untuk hal-hal tidak wajib dan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
Kalau itu itu wajib mungkin wajar, demikian juga kalau pernah dicontohkan oleh
Rasullah, itu tidak masalah. Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi
umrah saat Ramadan. Saya juga tidak tahu bagaimana pergeseran yang mulanya
infak itu hingga menjadi umrah saat Ramadan.
Sekarang banyak masjid
membuat brosur Ramadan memasukkan umrah itu sebagai amal ibadah Ramadan.
Padahal umrah itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Di luar Ramadan boleh
seperti itu. Tapi memasukkan umrah sebagai amaliyah Ramadan itu sudah punya
tujuan lain. Mungkin saja pengurus masjid ingin menjaring jamaah agar dia bisa
gratis ke sana. Ini bergesernya pelan-pelan, tidak terasa.
Seperti apa peran ulama dalam
hal ini?
Ulama saja jadi korban
konsumerisme karena ulamanya tidak mau mempelajari hadis, bagaimana perilaku
Rasulullah pada Ramadan. Maka yang penting senang pergi ke Makkah. Bagaimana
tidak senang, dia dan istrinya bisa gratis kalau dapat jamaah banyak. Bagaimana
tidak senang seperti itu. Maka jamaahnya dirayu untuk pergi umrah saat Ramadan.
Bagaimana dengan teladan dari
ulama?
Siapa diteladani kalau dia
tidak pernah membaca hadis perilaku nabi. Tidak pernah baca hadis dan syirah.
Itulah kendalanya dan akhirnya dia menjadi korban konsumerisme, bahkan ikut
terlibat membikin konsumerisme.
Apakah ada pihak membahas hal
ini setiap selesai Ramadan?
Setahu saya tidak pernah ada.
Siapa mau mengevaluasi. Saya yakin tidak ada. Yang bicara seperti ini juga
tidak ada selain saya. Saya punya keinginan kita kembali mengikuti perilaku nabi
patut kita contoh. Bagaimana beribadah saat Ramadan, bukan mengumbar nafsu
seperti itu. Selain itu agar infaknya lebih digalakkan saat Ramadan. Di bulan
lain beliau dermawan, bahkan dilukiskan kedermawanan beliau saat Ramadan itu
seperti angin kencang. Kalau sekarang tidak, umat muslim lebih senang umrah
saat Ramadan.
Mungkin yang umrah saat
Ramadan itu merasa tenang batinnya?
Bukan ketenangan batin, tapi
kesenangan batin. Kalau ketenangan bisa dengan qiyamul lail di Masjid Istiqlal
di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Coba Anda baca Republika kemarin
ada orang-orang mengikuti kegiatan itu dan mendapatkan ketenangan. Bukan malah
ke Makkah. Itu tidak mendapatkan ketenangan, tapi kesenangan.
Makanya diperlukan sekarang
adalah ulama-ulama bisa memberikan keteladanan. Dari mana sumber keteladanan
itu, ya mengikuti perilaku Rasulullah. Kalau sekarang mengikuti perilaku nafsu
dan itu ironis sekali di bulan Ramadan. Mestinya mengekang nafsu, malah mengumbar
nafsu.
Saat saya berkunjung ke
masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, “Pak
Ustad, saya baru pulang dari Makkah.” Saya langsung balas, “Saya tidak tanya.”
Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan
mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang
dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu
dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan
infaknya.
Menurunnya kedermawanan ini
apa juga dipengaruhi oleh turunnya ekonomi negara?
Kalau itu dijadikan parameter
mungkin orang tidak akan berbondong-bondong umrah. Anda coba tanya ke Kedutaan
Besar Arab Saudi yang umrah dari Indonesia saat Ramadan berapa orang? Kedutaan
Arab Saudi mengeluarkan visa pasti sebelum Ramadan. Kalau di luar Ramadan saya
pernah diberitahu rata-rata 7.500 orang. Itu dari jumlah stempel paspor umrah
diberikan
Kalau faktor ekonomi
masalahnya, tentu tidak banyak yang pergi umrah. Ini faktor konsumerisme
dibungkus dengan ibadah.
Kenapa itu jarang terdengar?
Saya kadang banyak mengecam.
Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu
niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau
mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, “Tidak
beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.”
Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan.
Saya tanyakan kepada
ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa
menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu
ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini.
Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak
kalangan dan bilang, “Berhaji kok rugi.”
Coba bandingkan biayanya itu
untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga
bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu
kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas
ekonomi.
Ini lebih kepada yang berhaji
ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak.
Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi
pura-pura buta saja.
Siapa yang diikuti untuk
berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang,
sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah,
sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti
bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang
bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu
belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna,
terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi
setan.
Mulanya mendengar itu, banyak
yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga
yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai
dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, “Ini
apa-apaan, haji penyembah setan.” Sama orang yang memberi opini itu disuruh
baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, “Pak Kiai, komentarnya nanti saja
setelah baca buku ini.” Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, “Ini yang
saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur.”
Ini saya amati tidak hanya
terjadi di Indonesia, juga di seluruh negara yang ada penduduk muslimnya. Di
Amerika juga begitu. Pada 2007 saya di Amerika, acara televisi di sana penuh
iklan umrah dan haji, bahkan ada koran khusus iklan dibagikan gratis. Koran itu
isinya penuh iklan, terutama iklan haji dan umrah. Itulah yang yang diteliti
Walter Armbrust, hal itu terjadi bukan hanya di negara-negara Islam, tapi di
negara-negara yang ada orang Islamnya. Itu gencar sekali.
Mestinya masjid juga menjadi
sumber kesejahteraan bagi orang miskin?
Mungkin itu ada, tapi
jumlahnya sangat sedikit. Paling diberi makan sahur dan berbuka, itu sedikit.
Tapi untuk menuntaskan kemiskinan mereka tidak ada program seperti itu.
Sumber: merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar