Ketika
saya dan tim Kick Andy HOPE sedang berada di Metro Lampung untuk rekaman,
tiba-tiba seorang ibu – sambil menggendong bocah perempuan – menangis histeris.
Airmatanya bercucuran. Tidak peduli kami sedang rekaman, dia berteriak-teriak
dan berusaha mendekat.
Sejenak saya tertegun.
Begitu juga tim Kick Andy dan semua yang berada di lokasi. Kami tidak
mengerti apa yang terjadi. Sementara sang ibu terus menangis histeris.
Didorong rasa ingin tahu,
saya mendekati sang ibu. Tapi tanpa peduli pada kami, perempuan berusia sekitar
50 tahun itu berlari dan memeluk Yon Haryono, narasumber yang sedang saya
wawancarai.
“Mengapa ibu menangis?” Tanya saya. Sambil sesenggukan, dengan nafas tersengal, dia mengaku keluarganya sangat berterima kasih pada Yon Haryono. “Anak saya bisa seperti sekarang ini karena Pak Yon,” ujarnya terbata-bata.
“Mengapa ibu menangis?” Tanya saya. Sambil sesenggukan, dengan nafas tersengal, dia mengaku keluarganya sangat berterima kasih pada Yon Haryono. “Anak saya bisa seperti sekarang ini karena Pak Yon,” ujarnya terbata-bata.
Setelah itu barulah saya
paham apa yang terjadi. Ibu tadi adalah orangtua Tri Yatno, atlet angkat besi
Indonesia yang sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai kejuaraan dunia.
Salah satu diantaranya Tri Yatno menyabet emas pada Sea Games 2007 dan
Kejuaraan Dunia Angkat Besi.
“Kalau bukan karena Pak Yon, anak saya sekarang ini jadi penggembala kambing,” ibu itu menjelaskan masih dengan berlinang air mata.
“Kalau bukan karena Pak Yon, anak saya sekarang ini jadi penggembala kambing,” ibu itu menjelaskan masih dengan berlinang air mata.
Bukan cuma berprestasi sebagai atlet angkat besi Indonesia, Tri Yatno yang lahir di sebuah desa kecil di Metro Lampung, Sumatera Selatan, ini juga mengangkat harkat dan martabat orangtua dan keluarganya. Dari prestasi dan penghargaan yang dia terima, Tri Yatno mampu membelikan orangtuanya rumah yang lebih layak untuk ditinggali. Bahkan, bungsu dari tiga bersaudara ini mampu membiayai orangtuanya menunaikan ibadah haji.
Tri Yatno hanya satu dari
beberapa atlet angkat besi asal Lampung yang berhasil mengubah hidup
keluarganya melalui olahraga tersebut. Sebelum itu, ada Eko Yuli Irawan yang
berhasil mengukir prestasi luar biasa di Olimpiade Beijing 2006. Di Olimpiade
itu Eko menyabet medali perunggu dan mempersembahkannya sebagai medali pertama
untuk kontingen Indonesia.. Bahkan Eko pula yang mengukir prestasi
mencengangkan ketiga meraih medali emas di Kejuaraan Angkat Besi Dunia di
Praha, Ceko tahun 2007. Belum lagi sejumlah medali emas di Sea Games dan
kejuaraan nasional.
Lalu, mengapa ibu tadi
harus berterima kasih pada Yon Haryono, narasumber yang sedang saya wawancarai
itu? Siapa Yon Haryono? Apa yang dia lakukan sehingga Tri Yatno menjadi atlet
angkat besi dengan prestasi internasional? Lalu apa kaitannya dengan Eko Yuli
Irawan?
Kehadiran saya di Metro Lampung justru karena Yon Haryono. Laki-laki berusia 42 tahun ini mantan atlet angkat besi nasional. Sejumlah prestasi pernah diraihnya. Dia pernah mewakili Indonesia dalam persiapan Olimpiade Seoul walau hanya mampu masuk urutan ke 12 dan kemudian urutan tujuh di kejuaraan dunia.
Kehadiran saya di Metro Lampung justru karena Yon Haryono. Laki-laki berusia 42 tahun ini mantan atlet angkat besi nasional. Sejumlah prestasi pernah diraihnya. Dia pernah mewakili Indonesia dalam persiapan Olimpiade Seoul walau hanya mampu masuk urutan ke 12 dan kemudian urutan tujuh di kejuaraan dunia.
Sebagai atlet yang lahir
dari keluarga sederhana, waktu itu Yon bertekad meraih mimpinya dengan
mencatat prestasi di Olimpiade. Tapi sayang mimpinya kandas akibat tulang sikunya
lepas ketika bertanding. Setahun sesudah sembuh, pada 1993, dia nekat
bertanding lagi. Tapi lagi-lagi tulang sikunya lepas. Dokter kemudian
melarangnya untuk aktif sebagai atlet selamanya.
Haruskah Yon mengubur
mimpinya? Ternyata tidak. “Kalau saya tidak bisa, maka harus ada yang
melanjutkan mimpi saya,” tekadnya. Maka dia memilih pulang kampung ke
Lampung dan melatih anak-anak di desanya. Dari sebuah sasana yang lebih mirip
kandang kambing, Yon Haryono mulai mewujudkan mimpinya.
Sejak itu secara konsisten
dan penuh komitmen, di tengah minimnya peralatan latihan dan dana, Yon berhasil
melahirkan atlet-atlet angkat besi dengan prestasi internasional. Selain Eko,
Tri yatno, masih ada Edi Kurniawan yang juga meraih emas di Sea Games dan
berbagai kejuaraan angkat besi. Termasuk sejumlah atlet remaja yang mampu
membuktikan bahwa berlatih di sasana yang mirip kandang kambing itu tidak
menghalangi seseorang untuk meraih prestasi.
Melihat apa yang dilakukan
Yon Haryono, yang melatih dengan sepenuh hati dengan peralatan yang sudah usang
dan rusak-rusak, termasuk sepatu yang sudah bolong dan dipakai bergantian, saya
teringat Ibu Guru Yan di Temanggung. Pensiunan guru berusia 64 tahun ini juga
membuktikan sarana yang minim bukan penghambat untuk mengukir prestasi.
Dari rumah kontrakannya
yang sangat sederhana di sebuah gang sempit, Ibu Yan berhasil melahirkan juara
matematika dunia. Nanang, salah satu murid yang dia bantu ketika tidak mampu
melanjutkan sekolah, meraih medali perunggu dalam kejuaraan matematika internasional
di Bulgaria tahun 2005. Dengan prestasi matematika itu pula Nanang mendapat
beasiswa untuk kuliah di UGM Jogja.
Melalui matematika Ibu
Guru Yan “menyelamatkan” masa depan 17 anak asuhnya. “Tanpa bantuan Ibu, saya
sampai sekarang masih menggembala bebek,” ujar Nanang, yang kini menjadi dosen
matematika di UGM.
Dalam kesederhanaan sarana – termasuk meja belajar yang sudah berlubang-lubang dan belajar di dapur yang sempit – Bu Yan mengajar matematika dengan penuh cinta dan komitmen. Ratusan anak saat ini belajar di “puskesmas matematikanya”. Dari pagi sampai malam. Bagi yang tidak mampu tidak dipungut bayaran.
Dalam kesederhanaan sarana – termasuk meja belajar yang sudah berlubang-lubang dan belajar di dapur yang sempit – Bu Yan mengajar matematika dengan penuh cinta dan komitmen. Ratusan anak saat ini belajar di “puskesmas matematikanya”. Dari pagi sampai malam. Bagi yang tidak mampu tidak dipungut bayaran.
Yon Haryono dan Bu Guru
Yan, secara materi boleh dibilang jauh dari memadai. Untuk diri dan keluarganya
saja mereka masih kekurangan. Tapi, dalam kekurangan tersebut mereka berdua
bertekad menyelamatkan masa depan anak-anak desa yang miskin. Mereka tidak
memberi uang atau materi, tetapi mereka memberi “tiket” bagi anak-anak tersebut
untuk masuk ke pintu sukses.
Yon Haryono memberi
“tiket” dengan melatih anak-anak di desanya untuk menjadi atlet-atlet angkat
besi yang berprestasi. Dengan prestasi itulah mereka mampu keluar dari belenggu
kemiskinan. Sebagai atlet angkat besi Eko dan Tri Yatno mampu membelikan
orangtua mereka rumah yang layak. Dengan prestasi itu pula mereka berdua mampu
membiayai orangtua mereka naik haji. “Kalau dulu saya tidak bertemu Pak Yon,
saya masih angon kambing,” ujar Eko dengan suara lirih.
Sementara Ibu Yan memberi
ilmu matematika sebagai tiket bagi anak-anak desa di sekitar Temanggung.
Berbekal nilai matematika yang tinggi, 17 anak yang dia asuh berhasil mendapat
beasiswa untuk masuk beberapa perguruan tinggi bergengsi di Indonesia.
Sementara ratusan anak lainnya saat ini sedang digembleng agar juga bisa
mendapatkan “tiket” untuk keluar dari kemiskinan.
Betapa mulianya apa yang
dilakukan Yon Haryono dan Bu Yan. Dalam keterbatasan, mereka berusaha memberi
apa yang mereka punya. Sementara banyak orang yang punya banyak, tapi begitu
pelit untuk memberi.
Sekali lagi saya belajar, untuk
bisa memberi tidak perlu menunggu punya banyak materi lebih dulu. Kita bisa
memberi apa yang saat ini kita miliki. Semoga apa yang kita berikan itu,
sekecil apapun, dapat menjadi “tiket” bagi orang yang menerimanya untuk keluar
dari kemiskinan.
Sumber K!ck Andy
Sumber K!ck Andy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar