Disaat
banyak orang mulai ragu dengan nilai
kebersamaan, Kick Andy Hope menemukan dua
komunitas yang sangat inspiratif.
Masing-masing komunitas bekerja sama untuk
menghadapi masalah yang diakibatkan alam dan
lingkungan sekitar.
Kisah
pertama datang dari Kampung Deles, Desa Sidorejo,
Kemalang, Klaten Jawa tengah. Sebuah kampung yang
hanya berjarak 4,5 km dari kaki Gunung Merapi. Tentu saja,
ancaman Gunung Merapi selalu menghantui mereka.
Tapi secara bersama-sama mereka membentengi diri untuk
tidak menjadi korban dan berusaha untuk
bersahabat dengan alam.
Sejak
tahun 1999, di Deles sudah ada radio komunitas
yang diberi nama Radio Komunitas lintas merapi. Dan
radio yang dibuat oleh warga
bernama Sukiman itu, telah menjadi satu perekat
antar warga di sana. Dari radio inilah warga bertukar
informasi , terutama soal kondisi Gunung yang masih
aktif itu. Radio ini menjadi pusat informasi dan disaat merapi
mulai menunjukan tanda-tanda aktif. Komando untuk evakuasi dan lain-lain
datang dari Sukiman dan radionya ini.
Untuk
mendapatkan informasi yang akurat tentang kondisi merapi, Sukiman dan 26
relawan memantau langsung dengan menaiki puncak Gunung Merapi. Dan
informasi tersebut disebarkan selain melalui radio juga dengan website
dan akun sosial. Maksimal dalam dua bulan sekali Sukiman
mendaki Merapi untuk memantau.
Selain
soal radio, komunitas masyarakat di Kampung
ini secara bersama-sama menyadari pentingnya menjaga
lingkungan. Awalnya warga kampung Delesa banyak sekali penambang
yang merusak hutan. Sukimanlah yang mendatangi mereka
dan meminta agar warga bercocok tanam. Maka, jika
jaman dulu mereka hanya mengandalkan pada
hasil hutan, sejak tahun 2003, Sukiman
menginisiasikan adanya kelompok tani di kampung ini.
Kegiatan
awal yang dilakukan oleh Sukiman adalah datang kerumah-rumah warga
mengajari mereka bagaimana cara menanam sampai warga itu bisa menaman dan
menghasilkan panen yang berlimpah. Tak hanya pada kelompok
orang dewasa, Sukiman juga mengajak generasi
muda untuk mencitai alam. Lewat Kelompok
Anak Cinta Lingkungan (Kancing), anak-anak dan remaja
di Deles memiliki kesadaran yang tinggi
tentang pohon dan satwa di wilayah gunung Merapi.
Selain itu mereka juga menjadi kelompok belajar berbagai
ilmu, dari pelajaran bahasa hingga seni.
Tak
cukup sampai di situ, warga di sini juga
memiliki jurus pelestarian dan pemanfaatan alam yang
menghasilkan nilai ekonomi. Misalnya dalam penanganan masalah
pohon bambu cendani yang semakin langka. Sukiman
mengajarkan mereka membuat kerajinan dari pohon bambu dan menjualnya.
Sebagian dari keuntungan penjualan dikembalikan untuk
biaya penanaman bambu kembali.
Sukiman
pun mengajak warga dan anak-anak untuk melindungi satwa di desanya yaitu
kera. Kera dianggap menggangu masyarakat tapi sukiman mengajak warganya
untuk menamai pohon jambu. Dan alhasil saat ini kera-kera tersebut tidak
pernah menggangu masyarakat karna mereka sudah memiliki makanan sendiri
dari jambu yang ditanam oleh warga.
Satu hal yang dipercaya Sukiman dan warga Deles, bahwa selama ini merapi
tidak pernah memakan korban jiwa dikampungnya karena masyarakat Deles
gemar menjaga lingkungan dan menanam pohon, semakin lestari semakin
selamat mereka dari bencana. Dan mereka percaya pohon-pohon yang mereka
tanam dan jaga itu adalah benteng keselamatan bagi mereka. Meski
demikian mereka selalu bersiap-siap dengan segala
kemungkinan, termasuk rajin melakukan latihan mitigasi.
Sehingga mereka menjadi siap tatkala Gunung
Merapi beraksi.
Radio
Komunitas Lintas Merapi menjadi bagian
penting dari seluruh kegiatan warga Deles. Radio
yang mulai usang itu selalu menjadi
sumber informasi pertama bagi warga dalam berbagai masalah.
Karena urgensinya itu, maka kelompok
tani memiliki komitmen bersama bahwa jika radio itu rusak, maka
Sukiman boleh meminta biaya perbaikan dari
dana kelompok tani. Tentu saja, hanya
untuk perbaikan-perbaikan kecil saja.
Radio
Komunitas Lintas Merapi yang resmi berada di jalur FM ini pernah
mendapat penghargaan dari BBC Siaran Indonesia tahun 2007
dan menjadi pemenang Penghargaan “Suara Kencana
Award” dari RRI Jakarta 2011. Di tengah prestasinya
itu, Stasiun radio ini sering mengalami kerusakan
akibat usangnya sejumlah perangkat. “Pernah alat rusak,
tapi warga tidak panen. Ya sebulan lebih jadi gak
siaran,” ujar Sukiman yang mengaku terus bersemangat
bersama warga.
Semangat
kemersamaan yang sama juga dimiliki oleh Aris
Junaedi atau Juned bersama anak-anak
di kampung Rawamalang, Cilincing, Jakarta Utara.
Masyarakat
Rawamalang mayoritas hidup dalam kemiskinan. Banyak anak-anak dan
beberapa ada yang putus sekolah yang tidak punya aktifitas selain bermain
dan tidak terarah. Rawamalang sendiri adalah perkampungan di
pinggiran kota Jakarta Utara dengan penduduk cukup padat dan mayoritas
masyarakatnya sebagai pemulung, buruh harian, tukang ojek, parkir,
nelayan bahkan tidak sedikit pula yang menganggur. Dengan penghasilan
rata-rata Rp. 20.000,- perhari tidak memungkinkan mereka untuk
menyekolahkan anak-anak dengan baik. Bagi mereka dapat memenuhi keperluan
makan sehari-hari saja sudah cukup. Satu hal lagi yang
memperparah lingkungan di sana adalah karena Rawamalang terkenal
sebagai dareah prostitusi.
Juned
adalah salah satu dari anak-anak muda di kawasan tersebut yang mempunyai
cita-cita dan pendirian yang kuat. Ia bersama kawan-kawan di bawah
bimbingan beberapa relawan berusaha untuk menunjukkan bahwa tinggal di
kawasan seperti itu tidak selalu berarti akan membuat anak-anak
menjadi berkepribadian negative. Sebaliknya mereka secara bersama-sama
terus membentengi diri dengan pengetahuan dan wawasan yang positif.
Juned
bersama lima temannya, dibantu Betty, seorang relawan
pencinta anak mendirikan komunitas Ikatan Peduli
Pendidikan Anak atau IPPA pada tahun 2009. Tujuannya
adalah untuk menghilangkan kesan daerah Rawamalang sebagai areal
lokalisasi, kesan itu memberi efek psikologis bagi anak-anak yang tinggal
di sekitar lahan prostitusi terbesar di Jakarta Utara.
Sehinga ketika mereka bersosialisasi dengan anak-anak di luar
kampung mereka, mereka seperti dilabelin anak dari daerah prostitusi.
Lokasi
IPPA masih terus berpindah-pindah yang semula menempati rumah kosong yang
ditinggali pemiliknya, setelah pemiliknya menempati rumah itu kembali
IPPA hengkang ke sebuah gubuk yang terletak di pinggir jalan, sampai
akhirnya kelompok belajar ini mengumpulkan dana dari para donatur untuk
menyewa sebuah rumah sederhana.
Kegiatan
di IPPA selain sebagai perpustakaan umum, IPPA memiliki banyak kegiatan
diantaranya, bimbingan belajar, menari, outbond, bermusik dan
jalan-jalan, sedangkan untuk kursus komputer IPPA belum dapat melaksanakan
karena tidak kuatnya listrik untuk mengoprasikan komputer.
Jumlah
remaja yang aktif mengurus IPPA sebanyak 30
anak, mereka aktif berkegiatan untuk memotivasi ratusan
anak yang tinggal di kawasan tersebut.
Prestasi mayoritas datang dari lomba seni baik itu
menggambar, menari, dan menyanyi. ”Saya ingin mengubah Rawamalang
menjadi nama yang baik dimata orang dengan adanya IPPA sebelumnya daerah
kami disebut orang dengan sebutan yang tidak menyenangkan, maka dari itu
saya ingin mengubah nama daerah saya menjadi yang baik,”
kata Juned.
Keinginan
Juned adalah keinginan banyak anak-anak
di kampung Rawamalang. Mereka pun berjuang untuk
mengganti ”label” buruk dan menggantinya dengan prestasi.
”Kami baru saja menjadi juara umum karena dapat
juara lomba gambar, menari, dan menyanyi sejabotabek,” kata
Juned bangga.
Kebahagiaan
anak-anak Rawamalang dengan prestasinya, semakin seru
ketika Host Kick Andy Hope
berkunjung ke sana dan memberi mereka suprise sederhana,
tapi mereka tunggu-tunggu. Inilah kisah tentang kekuatan
kebersamaan yang mewujudkan hasil dan kebahagiaan
yang cukup sempurna.
Sumber K!ck Andy Hope
apabila membaca kisah seperti ini rasanya, semangat saya terbangun kembali :)
BalasHapusfolback kak
BalasHapus