Oleh: Dina Y. Sulaeman
Dalam acara launching dan bedah buku Prahara Suriah di Univ
Paramadina, dua akhwat berjilbab lebar hadir dan duduk paling depan.
Kelihatannya mereka tekun menyimak pemaparan para pembicara, termasuk saya.
Namun saya sungguh kaget saat salah satu dari akhwat itu berbicara di sesi
tanya jawab. Dia menujukan pernyataan (bukan pertanyaan) kepada Wakil Dubes
Suriah, kurang lebih, “Sebenarnya saya tidak perlu semua pembicaraan ini
[sambil menujuk ke arah para pembicara]. Saya hanya ingin menyampaikan pesan
kepada saudara-saudara Sunni saya di Suriah, tolong sampaikan kepada mereka
permintaan maaf saya karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu
mengurangi penderitaan mereka.”
Sungguh tak saya sangka rupanya si akhwat itu tadi selama
hampir tiga jam duduk di depan saya sambil menulikan pendengaran dan menutup
pengelihatannya. Meskipun tak bicara blak-blakan, tapi nadanya mengandung
emosi, jelas sekali si akhwat tetap berpegang pada paradigma yang dibawanya
sejak awal, yaitu bahwa ini adalah konflik Sunni-Syiah dan kaum Sunni menjadi
korban kezaliman rezim Syiah Assad (sebagaimana yang didengungkan berbagai
ormas Islam pendukung jihad ke Suriah selama ini).