Semakin panjang jalan yang dilalui kemerdekaan bangsa yang
sampai detik ini menjelang 68 tahun, semakin tersibak penyimpangan kelakuan
kolektif kita, terutama seperti yang diperagakan oleh sebagian kaum elite
Indonesia. Perasaan berdosa dan berdusta yang mengkhianati sumpah jabatan sudah
dianggap ringan tanpa beban moral sama sekali. Lihatlah di layar kaca
wajah-wajah para tersangka korupsi yang menebar senyum, tak semiang pun
terlihat tanda penyesalan.
Pertanda apa semua pertujukan hitam ini? Jawabannya tunggal:
sebagian elite bangsa ini secara moral sedang pingsan. Nurani yang pada
dasarnya jujur dan bersih sudah lama tidak difungsikan. Akal sehat pun telah
tiarap berhadapan dengan kuatnya godaan materi, seks, dan kekuasaan.
Dalil-dalil agama yang sering dikutip hanyalah topeng untuk menutupi
keserakahan terhadap kesenangan duniawi yang tak pernah merasa puas. Perilaku
semacam ini jauh lebih busuk dari kelakuan mereka yang terang-terangan tidak
menyukai agama yang mungkin dalam batas-batas tertentu masih bermoral.
Pada skala yang lebih makro dalam sistem kekuasaan nasional,
Pancasila dan UUD sudah lama menjadi benda mati. Jika ada anak bangsa yang
masih mencintai dan mewujudkannya dalam ranah praksisme, jumlahnya semakin
menipis dari hari ke hari, di tengah-tengah perlombaan kasar dan ganas dalam
memperebutkan rezeki legal dan ilegal dari APBN/APBD/BUMN/BUMD dan
peluang-peluang lain yang dapat digasak. Kejujuran berbangsa dan bernegara
sudah semakin pupus dan tumbang, sementara yang mendaftar untuk naik haji
hampir tak tertampung lagi, saking panjangnya yang antre.
Bagaimana kita bisa memahami fenomena yang serba berlawanan
ini? Mungkin jawabannya tidak satu karena faktor-faktor penyebabnya saling
berselingkuhan satu sama lain. Faktor yang paling dominan dalam bacaan saya
adalah cara orang beragama lebih terpukau kepada sisi-sisi luar berupa ritual
dan seremoni, tetapi kering dan sepi dari ruh agama yang mengharuskan
pemeluknya belajar menjadi manusia baik, apa pun parameter yang digunakan untuk
itu. Ini persis seperti kritik tajam Alquran terhadap perilaku elite Quraisy
yang tak punya jangkar spiritual sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan
kolektif mereka. Inilah makna ayat itu: "Mereka kenal benar akan sisi-sisi
luar dari kehidupan duniawi, sedangkan terhadap akhirat (tujuan hidup yang
hakiki) mereka sama sekali tidak hirau." (Surah al-Rum ayat 7).
Untuk Indonesia, kita sisihkan sebentar kritik Alquran karena
tidak semua orang memercayainya. Pakai sajalah Pancasila dan UUD yang semua
warga negara harus tuntuk kepadanya. Di mana sekarang dalam realitas berbangsa
dan bernegara sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab\" di
lingkungan tatanan sosial yang rusak berantakan? Adapun sila kelima
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia\" sudah puluhan tahun
menggantung di awang-awang. Kita berpura-pura menyebut Pancasila sebagai dasar
filosofi negara. Dalam pola pembangunan nasional, sila itu hanyalah disebut
sebagai pemanis untuk menipu rakyat.
Kemudian jejerkan pula pasal 33 UUD dengan strategi pembangunan
negara. Siapa yang menguasai bumi, air, dan semua kekayaan yang terdapat di
dalamnya? Jawabannya, bukan lagi negara sebagaimana yang diperintahkan
konstitusi, tetapi pihak asing dan agen-agen domestiknya. Dengan kenyataan
keras ini, kesimpulan final adalah: kejujuran bernegara sudah lama menghilang
di tengah-tengah gencarnya kultur berebut benda dan kekuasaan!
Oleh sebab itu, pilihan yang benar ke depan adalah: gerak
sejarah nasional harus mengubah arah yang sesat dan menyesatkan ini, jika
Indonesia memang mau diselamatkan agar menjadi bangsa dan negara yang berdaulat
penuh dan punya harga diri.
Sumber: maarifinstitute.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar