Rabu, 26 Juni 2013

Syafi'i Ma'arif: Kejujuran Bernegara


Semakin panjang jalan yang dilalui kemerdekaan bangsa yang sampai detik ini menjelang 68 tahun, semakin tersibak penyimpangan kelakuan kolektif kita, terutama seperti yang diperagakan oleh sebagian kaum elite Indonesia. Perasaan berdosa dan berdusta yang mengkhianati sumpah jabatan sudah dianggap ringan tanpa beban moral sama sekali. Lihatlah di layar kaca wajah-wajah para tersangka korupsi yang menebar senyum, tak semiang pun terlihat tanda penyesalan.

Pertanda apa semua pertujukan hitam ini? Jawabannya tunggal: sebagian elite bangsa ini secara moral sedang pingsan. Nurani yang pada dasarnya jujur dan bersih sudah lama tidak difungsikan. Akal sehat pun telah tiarap berhadapan dengan kuatnya godaan materi, seks, dan kekuasaan. Dalil-dalil agama yang sering dikutip hanyalah topeng untuk menutupi keserakahan terhadap kesenangan duniawi yang tak pernah merasa puas. Perilaku semacam ini jauh lebih busuk dari kelakuan mereka yang terang-terangan tidak menyukai agama yang mungkin dalam batas-batas tertentu masih bermoral.


Pada skala yang lebih makro dalam sistem kekuasaan nasional, Pancasila dan UUD sudah lama menjadi benda mati. Jika ada anak bangsa yang masih mencintai dan mewujudkannya dalam ranah praksisme, jumlahnya semakin menipis dari hari ke hari, di tengah-tengah perlombaan kasar dan ganas dalam memperebutkan rezeki legal dan ilegal dari APBN/APBD/BUMN/BUMD dan peluang-peluang lain yang dapat digasak. Kejujuran berbangsa dan bernegara sudah semakin pupus dan tumbang, sementara yang mendaftar untuk naik haji hampir tak tertampung lagi, saking panjangnya yang antre.

Bagaimana kita bisa memahami fenomena yang serba berlawanan ini? Mungkin jawabannya tidak satu karena faktor-faktor penyebabnya saling berselingkuhan satu sama lain. Faktor yang paling dominan dalam bacaan saya adalah cara orang beragama lebih terpukau kepada sisi-sisi luar berupa ritual dan seremoni, tetapi kering dan sepi dari ruh agama yang mengharuskan pemeluknya belajar menjadi manusia baik, apa pun parameter yang digunakan untuk itu. Ini persis seperti kritik tajam Alquran terhadap perilaku elite Quraisy yang tak punya jangkar spiritual sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan kolektif mereka. Inilah makna ayat itu: "Mereka kenal benar akan sisi-sisi luar dari kehidupan duniawi, sedangkan terhadap akhirat (tujuan hidup yang hakiki) mereka sama sekali tidak hirau." (Surah al-Rum ayat 7).

Untuk Indonesia, kita sisihkan sebentar kritik Alquran karena tidak semua orang memercayainya. Pakai sajalah Pancasila dan UUD yang semua warga negara harus tuntuk kepadanya. Di mana sekarang dalam realitas berbangsa dan bernegara sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab\" di lingkungan tatanan sosial yang rusak berantakan? Adapun sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia\" sudah puluhan tahun menggantung di awang-awang. Kita berpura-pura menyebut Pancasila sebagai dasar filosofi negara. Dalam pola pembangunan nasional, sila itu hanyalah disebut sebagai pemanis untuk menipu rakyat.

Kemudian jejerkan pula pasal 33 UUD dengan strategi pembangunan negara. Siapa yang menguasai bumi, air, dan semua kekayaan yang terdapat di dalamnya? Jawabannya, bukan lagi negara sebagaimana yang diperintahkan konstitusi, tetapi pihak asing dan agen-agen domestiknya. Dengan kenyataan keras ini, kesimpulan final adalah: kejujuran bernegara sudah lama menghilang di tengah-tengah gencarnya kultur berebut benda dan kekuasaan!


Oleh sebab itu, pilihan yang benar ke depan adalah: gerak sejarah nasional harus mengubah arah yang sesat dan menyesatkan ini, jika Indonesia memang mau diselamatkan agar menjadi bangsa dan negara yang berdaulat penuh dan punya harga diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar